Senin, 23 April 2012


SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA
ERA REFORMASI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Sistem Komunikasi Indonesia
Oleh;
Sri Rosmayanti



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

1.      Pengertian Sistem Komunikasi Indonesia
Menurut Tatang M Anirim, sistem adalah sekumpulan unsur yang melakukan kegiatan atau menyusun skema dalam melakukan tatacara suatu kegiatan pemprosesan untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan. Di Indonesia dikenal beberapa bangunan sistem, misalnya Sistem Hukum Indonesia, Sistem Politik Indonesia, Sistem Sosial Indonesia, Sistem Budaya Indonesia, Sistem Ekonomi Indonesia dan sistem-sistem nilai lainnya yang dapat dijadikan pedoman dalam proses interaksi antar orang di Indonesia.
Selain itu, yang paling utama dalam berinteraksi diperlukan sistem komunikasi, Sistem Komunikasi adalah sekumpulan unsur-unsur atau orang-orang yang mempunyai pedoman dan media yang melakukan suatu kegiatan mengelola, menyimpan, mengeluarkan ide, gagasan, simbol, dan lambang yang menjadikan pesan dalam membuat keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi.
Dalam kehidupan komunikasi juga mulai dikenal dengan istilah Sistem Komunikasi Indonesia. Sistem ini merupakan rumusan baru bagi Indonesia meskipun pelaksanaannya secara implisit telah dilakukan oleh Bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, terutama melalui norma Sistem Pers Indonesia. Namun rumusan yang jelas tentang Sistem Komunikasi Indonesiamasih belum dimiliki.
Dengan merumuskan Sistem Komunikasi Indonesia maka kita akan memiliki sebuah bangunan sistem dalam berkomunikasi yang seragam serta menjadi ciri dan karakter BangsaIndonesia. Bangunan dari sistem komunikasi Indonesia itu akan berlandaskan pada pola komunikasi yang dikembangkan di Indonesia dengan perangkat nilai dan perundangan yang ada. Sebab pola komunikasi didalam suatu negara akan menentukan bangunan sistem komunikasi yang akan dikembangkan di negara ini.


2.      Pengertian Reformasi dan Sejarahnya
Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk kepada gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah Orde Baru. Kendati demikian, kata Reformasi sendiri pertama-tama muncul dari gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di Eropa Barat pada abad ke-16, yang dipimpin oleh Martin LutherUlrich Zwingli,Yohanes Calvin, dll.
Pemilihan Umum (pemilu) yang dilangsungkan tanggal 7 Juni 1999 lalu adalah tonggak penting dalam upaya Bangsa Indonesia melepaskan diri dari belenggu ke otoriteran dan menumbuhkan masyarakat madani yang demokratis.  Peristiwa ini merupakan perwujudan dari semangat Reformasi yang dipekikkan mahasiswa Indonesia di awal dan pertengahan tahun 1998.
Berikut ini adalah Garis-waktu pertamaberisi berita tentang krisis ekonomi parah yang melanda Indonesia, dilanjutkan dengan demonstrasi mahasiswa di seantero negeri melawan rejim yang telah berkuasa sedemikian lama, diikuti dengan berbagai laporan tentangtragedi Trisakti dan kerusuhan besar di Jakarta, sampai akhirnya pada 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI yang sudah dipegangnya selama 32 tahun.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis dapat  mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan Sistem Komunikasi Indonesia?
2.      Mengetahui apa yang dimaskud dengan Reformasi dan Sejarahnya?
3.      Mengetahui bagaimana jalannya sistem komunikasi Indonesia pada Era Reformasi?

C.    Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat dari penyusunan makalah ini, antara lain:
·         Diharapkan makalah ini dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut.
·         Dengan makalah ini dimaksudkan untuk dapat memberi pemahaman tentang Sistem Komunikasi pada Era Reformasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sistem Komunikasi Indoesia Era Reformasi

1.      Perkembangan komunikasi dalam Era Reformasi di Indonesia.
Melihat perkembangan politik di negara kita saat ini sebagai dampak dari adanya reformasi, telah muncul berbagai pemikiran mengenai negara dalam rangka mencari format yang pas bagi pelaksanaan sistem politik di Indonesia. Beberapa diantaranya ialah adanya gagasan untuk membentuk negara federal, menguatnya tuntutan otonomi, adanya gugatan terhadap Pancasila sebagai satu-satunya azas otonomi, terbentuknya partai-partai politik yang kian hari kian bertambah, semakin maraknya unjuk rasa yang dilakukan oleh berbagai lapisan dan golongan masyarakat.
Didalam dunia komunikasi juga terjadi perkembangan baru, antara lain dicabutnya Keputusan Menteri Penerangan tentang peraturan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), sehingga pengurusannya menjadi lebih mudah, terbangunnya keberanian moral dalam menyampaikan aspirasi dan koreksi meskipun terkadang tidak sejalan dengan pemerintah, adanya toleransi yang tinggi dalam perbedaan pendapat, penggunaan media massa yang semakin berani dalam menyajikan fakta atau opini serta berbagai perkembangan lain yang pada akhirnya bermuara kepada suatu komitmen yakni bagaimana persatuan dan kesatuan tetap dapat dipelihara dalam dinamika yang sedang berkembang sekarang ini.
Walaupun begitu selain dampak positif yang hadir setelah reformasi terdapat juga banyak dampak negatif sebagai bentuk dari kebebasan komunikasi pada saat ini. Namun perlu disadari sebelum menilai dampak negatif yang terjadi, kita semua harus menyadari bahwa dampak negatif ini merupakan bagian proses untuk mencari bentuk yang pas dari Sistem Komunikasi Indonesia. Beberapa bentuk damapak negatif dari kebebasan komunikasi yang adalah munculnya acara-acara yang mengarah pada pornografi, hadiranya tayangan-tayangan yang tidak mendidik, munculnya kekerasan yang mencontoh tayangan telivisi dll.
B.     Pengaturan Kebebasan Informasi Publik (KIP)
Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik (KIP) memang tidak lain merupakan upaya pemerintah untuk mengejawantahkan amanat konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam Pasal 3 Undang-Undang KIP juga diuraikan secara jelas kerangka tujuan yang diharapkan tercapai, antara lain sebagai berikut:
Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
1.      Mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
2.      Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik;
3.      Mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
4.      Mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
5.      Mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
6.      Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.

1.      Pelaksanaan Kebebasan Informasi Publik (KIP)
Prinsip-prinsip kebebasan memperoleh informasi ini sebenarnya telah banyak dikenal dalam banyak produk legislasi di Indonesia sebelum disahkannya UU KIP. Dalam UUD 1945, hal ini terdapat dalam Pasal 28 F. Di luar UUD 1945, terdapat sejumlah peraturan lain yang memberikan kesempatan pada masyarakat untuk memperoleh informasi, antara lain:[15]
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dimana Pasal 4 menyebutkan bahwa: ”Setiap orang berhak untuk mengetahui rencana tata ruang.” Ketentuan ini dilanjutkan dengan PP Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang, dimana Pasal 2 huruf b menyatakan bahwa: ”Dalam kegiatan penataan ruang masyarakat berhak: (b) mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah, rencana tata ruang kawasan, rencana rinci tata ruang kawasan.” Kemudian Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa: ”Dalam rangka memenuhi hak masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), menyebarluaskan rencana tata ruang yang telah ditetapkan pada tempat-tempat yang memungkinkan masyarakat mengetahui dengan mudah.”
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana Pasal 5 menyatakan bahwa: “Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.”
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen, dimana Pasal 3 huruf d menyatakan bahwa: “Perlindungan konsumen bertujuan (d) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi”. Kemudian Pasalmenyatakan bahwa: “Hak konsumen adalah: hak atas informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.” Selanjutnya Pasal 7 huruf b menyatakan bahwa: “Kewajiban pelaku usaha adalah: (b) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.”
SK KMA 144/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
Berkaca dari adanya beberapa pengaturan mengenai kebebasan memperoleh informasi diatas, seyogyanya masyarakat mudah untuk memperoleh informasi. Namun faktanya banyak sekali kasus dalam masyarakat dimana masyarakat sulit mendapatkan informasi, banyaknya peraturan yang tidak diketahui oleh masyarakat, adanya berbagai praktek penyimpangan informasi yang ada serta penyalahgunaan informasi untuk kepentingan ekonomi pribadi pejabat publik itu sendiri. Sebagai contoh yang sepele, dalam hal pengurusan KTP, meski tercantum gratis pengurusan KTP, biasanya masyarakat tetap dikenakan biaya oleh petugas kelurahan dengan biaya yang variatif tergantung kelurahannya dan pekerjaan si pemohon KTP tersebut. Akibatnya, perkembangan kebebasan informasi publik di Indonesia pun cenderung lambat. Berikut adalah beberapa alasan lambatnya kebebasan mengakses informasi di Indonesia:
1. Tidak mampu atau tidak terbiasa meminta informasi yang penting untuk mereka
Bagi sebagian besar rakyat kecil di Indonesia, salah satu pintu informasi untuk mendapatkan informasi public, khususnya menyangkut pelayanan publik, yaitu melalui lingkungan masyarakat sekitar mereka tinggal, misalnya seperti dengan saling bertanya dari mulut ke mulut antar tetangga. Keterbatasan ilmu pengetahuan yang disebabkan rendahnya tingkat pendidikan seringkali menyebabkan sebagian besar mayarakat Indonesia kurang mengerti dan menyadari hak-hak mereka untuk memperoleh informasi, terutama tentang pelayanan publik. Namuan apabila kemudian ada yang paham tentang kebutuhan ini, belum tentu juga ia paham mengenai cara memperoleh informasi tersebut. Ditambah lagi dengan kondisi birokrasi di Indonesia yang masih sering ‘melumpuhkan’ keinginan dan/atau kemampuan masyarakat untuk mengakses informasi secara mandiri. Akibatnya praktik percaloan di Indonesia menjadi suatu momok yang makin menyurutkan keinginan dan/atau kemampuan mayarakat dalam mengakses informasi yang ia butuhkan.
2. Tidak terbiasa mengikuti prosedur birokrasi yang rumit
Selain rendahnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat seperti diuraikan di atas, tuntutan hidup yang kian membutuhkan waktu cepat turut menyebabkan masyarakat untuk tidak begitu menyukai prosedur birokrasi yang hingga kini cenderung berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang relatif lama. Akibatnya mereka tidak terbiasa memilih alur birokrasi yang sesuai prosedur, bahkan lebih memilih menyerahkan urusan dengan calo atau lebih buruknya lagi menyuap aparat birokrasi dengan harapan urusannya dapat lebih cepat selesai.
3. Lamanya waktu mengakses informasi
Ketersediaan informasi yang kurang memanfaatkan perkembangan teknologi informasi semakin memperburuk dan memperlambat laju informasi yang kiranya bersifat segera, supaya dapat bermanfaat bagi publik.
4. Prosedur yang belum jelas dan terbuka
Inisiatif serta inovasi para pejabat publik dalam menyajikan informasi publik sangat diharapkan selama ini oleh masyarakat. Salah satunya ialah keterbukaan atas informasi menyangkut prosedur untuk memperoleh informasi public yang dibutuhkan oleh masyarakat. Keterbukaan mengenai prosediur ini sebenarnya merupakan gerbang awal yang seharusnya dikembangkan, sehingga masyarakat pengguna informasi merasa dipermudah dan dijamin hak-haknya atas informasi publik dimaksud.
5. Fenomena ketakutan kepada pejabat publik pelayan informasi
Adanya gap antara pejabat publik dengan rakyatnya sebagai pengguna informasi publik, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat serta adanya peluang pidana berupa pencemaran nama baik dan lain sebagainya cenderung membuat masyarakat enggan dan khawatir bila sikap mereka yang begitu aktif dan kritis terhadap hak untuk memperoleh informasi. Gambaran pejabat publik Indonesia saat ini memang masih jauh dari ramah dan tulus melayani masyarakat.
Meskipun dalam praktek UU KIP ini belum banyak diterapkan secara komprehensif, namun upaya mewujudkan pola-pola kerja birokrasi yang profesional, transparan dan berorientasi pada kepentingan publik mulai menemukan titik terangnya. Meski tidak selalu berhasil, berikut ini adalah beberapa daerah yang telah berupaya mewujudkan prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik di daerah otonominya, antara lain:
1.      Kota Gorontalo
Perda Transparansi yang dilaksanakan dengan Keputusan Walikota Gorontalo Nomor 2421 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Perda Nomor 3 Tahun 2002 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Kota Gorontalo, Walikota Gorontalo mewajibkan badan publik untuk menunjuk pejabat fungsional di masing-masing unit kerja, merumuskan mekanisme pelayanan dokumentasi dan informasi, mekanisme pendokumentasian dan penyiapan data serta informasi unit kerja dan menentukan jenis-jenis informasi yang wajib diumumkan yang tersedia setiap saat dan yang diumumkan secepatnya.
Namun dalam Pelaksanaannya tidak ada pejabat khusus yang melayani informasi dan dokumentasi. Prosedur pelayanan informasi di Kantor Pelayanan Satu Atap hanya melalui informasi yang dipajang di papan pengumuman. Informasi itu terkait tata cara mengurus perizinan dimana masyarakat yang menjadi pemohon izin harus datang ke kantor itu dan melihat langsung di papan pengumuman. Tidak ada prosedur baku untuk masyarakat yang memerlukan informasi di luar tata cara itu, misalnya data jumlah pengajuan izin dan sebagainya. Prosedur pelayanan informasi di Bagian Humas benar-benar tidak ada. Masyarakat yang ingin mengakses informasi harus datang langsung ke kantor Humas dan menemui siapa saja pejabat humas yang ada untuk meminta informasi.
2.      Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Contoh lain ialah penerapan keterbukaan informasi publik di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam lingkup transparansi dana publik. Pada tahun 2005, Pemkab Bantul menetapkan Perda tentang Transparansi dan Partisipasi Publik, namun implementasinya elit mendominasi prosedur penganggaran. Prosedur yang berjalan cenderung teknokratik (BAPPEDA, SKPD) dan politik (partai politik). Perencanaan program tidak sinkron dengan proses penganggaran. Masalah tersebut dapat terlihat dari data yang didapat di lapangan, antara lain (hasil pengamatan IDEA, 2008):
ü  Anggaran pendidikan mencapai 40% total belanja tahun 2006 tetapi 34,8% dihabiskan untuk gaji pejabat;
ü  Pemkab Bantul memiliki 11 rekening bank non-budgeter dari program CSR dan pihak ketiga untuk gempa yang tidak dipublikasikan; dan
ü  Revisi anggaran pasca gempa 2006 tidak menyentuh pengurangan gaji dan insentif pejabat tetapi justru memotong dana sosial.

2.      Implementasi UU Kebebasan Informasi Publik (KIP)
Meskipun UU KIP telah disahkan pada tahun 2008, tepatnya tanggal 30 April 2008, UU KIP ini baru dapat berlaku pada tahun 2010, tepatnya tanggal 30 April 2010. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 64 ayat (1) UU KIP bahwa UU KIP berlaku 2 tahun setelah pengesahannya. Alasannya adalah perlunya ada persiapan waktu bagi aparat dan lembaga pemerintahan terkait dengan persiapan sarana dan prasarana serta pembentukan Komisi Informasi.
Keberlakuan UU KIP ini merupakan salah satu problem sendiri mengingat lamanya masa yang dibutuhkan untuk keberlakuan UU KIP itu. Ditakutkan oleh beberapa pihak, saat UU KIP ini diberlakukan nanti malah tidak akan efektif. Selain masalah keberlakuan, dalam UU KIP ini juga terdapat beberapa pasal karet, seperti:
Pasal 52 yang menyebutkan, "Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 juta."
Pasal 52 mengatur sanksi serupa untuk badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan dan/atau tidak menerbitkan informasi publik.
Padahal praktik-praktik dan standar-standar hukum internasional , seperti yang termaktub dalam kajian Toby Mendel tentang Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, hanya mengatur tentang akses informasi publik., bukan malah mengatur sanksi pidana dan penggunaan informasi publik itu sendiri. Misalnya, Pasal 19 DUHAM PBB yang diterbitkan pada 1948 yang menyebutkan setiap orang memiliki hak asasi manusia untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan gagasan-gagasan melalui segala media dan tanpa memandang batas-batas wilayah. 
Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut bisa diinterpretasikan secara beragam. Pasal-pasal karet tersebut pun juga rentan penyimpangan wewenang oleh pemerintah. Bisa saja terjadi, aparat hukum dan badan publik menggunakan ketentuan ini untuk mengancam pengguna informasi publik, seperti media dalam mencari informasi publik dan menyebarkannya kepada masyarakat. Sementara itu, badan publik yang seharusnya menyediakan informasi publik dapat menggunakan alasan rahasia negara untuk menghindari pemberian informasi publik.
Terlepas dari kekurangan diatas, UU KIP tetap memiliki keuntungan sebagai berikut:
·         Bernilai strategis dan dapat membuka terobosan bagi serta mendorong penyegeraan dan penuntasan pembahasan RUU terkait dengan kepentingan publik, seperti RUU Pelayanan Publik yang masih dibahas di DPR.
·         UU KIP dapat memberikan landasan hukum dan informasi yang cukup bagi masyarakat akan haknya atas pelayanan publik dari pemerintah, terutama landasan bagi masyarakat dalam mengevaluasi kebijakan publik sekaligus berpartisipasi dalam proses kebijakan publik.
·         UU KIP dapat dilihat sebagai upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik di dalam badan publik dan para pejabat publik.
·         UU KIP juga dapat memaksa dan mendorong LSM dan partai politik untuk menerapkan transparansi, terutama dalam hal keuangan dan kegiatannya.


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Sistem Komunikasi terdiri dari dua kata yakni sistem dan komunikasi. Sistem adalah sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian dimana bagian-bagian, dimana bagian-baian itu salaing ketergantungan fdan bersifat ajeg. Dan komunikasi itu sendiri adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui sebuah saluran untuk menghasilkan efek. Dan jika keduanya dikaitakan menjadi Sistem Komunikasi Indonesia mengandung makna proses komunikasi menurut norma-norma ikatan sistem yang berlaku di Indonesia dari mulai dari pembentukan sumber dan pengelolaan sumber informasi.
2.      Pola komunikasi dalam suatu bangsa selalu dipengaruhi oleh pandangan hidup bangsanay sekaligus memberikan bentuk bagi falsafah komunikasi yang dianut dalam proses interaksi antar orang yang terjadi di negara itu.
3.      Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk kepada gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah Orde Baru Kendati demikian, kata Reformasi sendiri pertama-tama muncul dari gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di Eropa Barat pada abad ke-16, yang dipimpin oleh Martin LutherUlrich Zwingli,Yohanes Calvin, dll.

B.     Saran-saraan
Makalah ini tentunya msih jauh dari nilai kesempurnaan, karena di buat hanya sebatas khazanah pengetahuan kami itu pun denga referensi yang masih sangat minim. Oleh karena itu kritk dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan
Referensi:
·         Redi Panuju “system Komunikasi Indonesia
·         Good Governance dan Lingkungan, (Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2001). 
·         Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Melawan Tirani Informasi, (Jakarta: Koalisi untuk Kebebasan Informasi, 2001),

CITRA POLITIK, PARTISIPASI POLITIK & PENDAPAT UMUM
PEMILIHAN UMUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Komunikasi Politik
Oleh:
Sri Rosmayanti 


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah politik. Akan tetapi publik cenderung buruk dalam memaknainya. Politik mengalami degradasi moral dibandingkan dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya. Politik dikaitkan dengan strategi tipu muslihat untuk meraih kekuasaan atau Sesuatu yang berhubungan dengan penggulingan kekuasaan atau kudeta. Begitu buruknya citra politik di mata publik seolah publik menjauhi persoalan apapun yang berkaitan dengan politik.
Dalam makalah ini kami akan mencoba membahas tentang Citra Politik, Partisipasi Masyarakat& Pendapat Umum, Pemilihan Umum, dan kebijakan Publik, akan tetapi sebelumnya kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan Politik itu sendiri.
Berikut adalah definisi Politik Menurut salah seorang ahli:
Menurut Carl Schmidt
Politik adalah suatu dunia yang didalamnya orang-orang lebih membuat keputusan - keputusan daripada lembaga-lembaga abstrak.
B.     Rumusan Maslah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis dapat  mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan Citra Politik?
2.      Mengetahui apa yang dimaskud dengan Partisipasi Politi & Pendapat Umum?
3.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan Pemilihan umum dan Sejarahnya?
4.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan Kebijakan Publik dan cara penyusunannya?

C.    Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat dari penyusunan makalah ini, antara lain:
1.      Diharapkan makalah ini dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut.
2.      Dengan makalah ini dimaksudkan untuk dapat memberi pemahaman Citra Politik, Partisipasi Politik& Pendapat umum, Pemilihan Umum dan Kebijakan Publik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    CITRA POLITIK
Salah satu tujuan komunikasi politik adalah menciptakan, membangun, dan memperkuat citra (image) politik di tengah masyarakat, khususnya pemilih. Citra politik juga dapat melemah, luntur dan hilang dalam sistem kognitif masyarakat. Citra politik memiliki kekuatan untuk memotivasi aktor atau individu untuk melakukan suatu hal. Citra politik tersebut terbentuk berdasarkan informasi yang diterima masyarakat, baik langsung maupun melalui media massa. Citra politik berkaitan dengan pembentukan pendapat umum karena pada dasarnya pendapat umum politik terbangun melalui citra politik. Sedangkan citra politik terwujud sebagai konsekuensi kognitif dari komunikasi politik.
Citra politik menurut Cangara (2007) adalah idenditas politik, yang merupakan visualisasi dari atribut yang diberikan dan dipersepsikan oleh pihak luar tentang seorang kandidat maupun partai politik. Citra politik dalam hal ini bisa berupa reputasi dan kredibilitas seorang kandidat maupun partai politik yang dipersepsikan oleh masyarakat luas. Semakin baik reputasi dan kredibilitas seorang kandidat maupun partai politik, maka akan semakin besar peluang untuk dipilih masyarakat dalam pemilihan umum.
Para politikus sangat berkepentingan dalam menciptakan, membangun, dan memperkuat citra politik positif mereka melalui komunikasi. Citra politik yang positif dari suatu partai politik maupun kandidat akan memberikan efek yang positif pula terhadap pemilih guna memberikan suaranya dalam pemilihan umum.
Dengan demikian, citra politik seseorang akan membantu dalam pemahaman, penilaian dan pengidentifikasian peristiwa, gagasan, tujuan atau pemimpin politik. Citra politik juga membantu bagi seseorang dalam memberikan alasan yang dapat diterima secara subyektif tentang mengapa segala sesuatu hadir sebagaimana tampaknya tentang referensi politik. Citra politik akan menjadi perhatian penting jika seseorang menganggap bahwa dalam memenuhi kebutuhan fisik, sosial dan psikologis hanya dapat diatasi dan dilakukan oleh negara. Orang bertukar citra politik melalui komunikasi politik sebagai cara untuk menyelesaikan konflik dan mencari konsensus dalam upaya manusia dan masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya.
Komunikasi politik dalam prakteknya sering kali memainkan peran ganda kaitannya dengan citra politik. Disatu sisi untuk membangun citra politik positif bagi, disisi lain dilakukan untuk menghancurkan citra lawan politik. Hal tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa kehancuran citra suatu lawan politik berarti suatu keuntungan bagi seseorang politikus (kandidat) maupun partai politik untuk membangun citra politiknya dan mendapat dukungan politik dari masyarakat.
B.     PARTISIPASI POLITIK & PENDAPAT UMUM
1.      PARTISIPASI POLITIK
Partisipasi politik dipahami sebagai kegiatan sukarela (tanpa paksaan) warga negara dalam proses politik. Seorang tokoh partisipasi Herbet McClosky mengungkapkan pengertian Partisipasi politik, sebagai berikut : Partisipasi politik adalah kegiatan sukarela dari warga negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum (The term political participation will refer to those voluntary activities by which members of society share in the selection of rulers and, directly, in the formation of public policy).
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson memberi definisi lebih luas dengan memasukkan secara eksplisit tindakan ilegal dan kekerasan. Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. (By political participation we mean activity by private citizens designed to influence goverment decision making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective).
Prof. Miriam Budiardjo mengungkapkan definisi secara umum partisipasi politik, adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan tersebut tersebut mencakup tindakan seperti pemberian suara dalam pemilihan umum, menghadiri kampanye politik, mengadakan hubungan atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota legislatif, menjadi anggota partai politik, demonstasi, dan sebagainya.
Dari sekian banyak pengertian yang disampaikan oleh banyak orang maupun para pakar tentang pendapat umum, setidaknya definisi yang diungkapkan Hafied Cangara di bawah ini dapat mewakili dan memberikan pemahaman konferhensif tentang pendapat umum. Pendapat umum ialah gabungan pendapat perseorangan mengenai suatu isu yang dapat mempengaruhi orang lain, serta memungkinkan seseorang dapat mempengaruhi pendapat-pendapat tersebut. Ini berarti pendapat umum hanya bisa terbentuk kalau menjadi pembicaraan umum, atau jika banyak orang penting (elit) mengemukakan pendapat mereka tentang suatu isu sehingga bisa menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota masyarakat.
Dalam hal ini, media massa sebagai saluran komunikasi politik memiliki peranan yang cukup signifikan untuk membentuk pendapat umum di tengah-tengah masyarakat sehingga banyak politisi yang memanfaatkan media massa untuk membentuk, membina serta mempertahankan pendapat umum (opini public). Kehadiran media massa pada masyarakat yang berkembang termasuk Indonesia mempunyai arti yang sangat penting, dan diyakini sebagai salah satu pilar demokrasi. Media massa telah menjadikan jarak psikologis dan jarak geografis semakin kecil dan sempit, dan kejadian diberbagai tempat diketahui secara cepat dengan adanya media massa, seperti radio, televisi, surat kabar dan sebagainya.
Kegiatan partisipasi politik pada intinya tertuju kepada dua subjek yaitu:
a.       Pemilihan penguasa
b.      Melaksanakan segala kebijaksanaan penguasa (pemerintah)
Hakikat Pendapat Umum
Menurut beberapa pakar seperti Ogburn dan Ninkoff, semua golongan yang tersusun baik organisasi kerjanya mutlak harus memperoleh dukungan kuat pendapat umum atau pendapat umum tidak menentangnya memperoleh kekuasaan.
Sebagai kekuatan politik, pendapat umum tidak hanya mampu mendukung suatu pemerintahan atau kekuasaan melainkan juga memiliki kekuatan untuk menggulingkannya baik melalui cara yang konstitusional maupun melalui aksi-aksi masa ataupun keduanya. Maka dari itu sangat penting bagi penguasa untuk memelihara dan membina pendapat umum dengan baik melalui komunikasi politik yang intensif, persuasive, ataupun informative, edukatif dan koersif.

Pendapat umum memiliki tiga unsur:
·         Isu yang aktual
·         Sejumlah orang yang mendiskusikan isu tersebut
·         Isu tersebut diekspresikan baik melalui tulisan, lisan ataupun gerak-gerik.
Pendapat umum hanya dapat berkembang di negara-negara yang demokratis karena negara yang demikian akan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan.
Karakteristik Pendapat Umum
Pendapat umum memiliki beberapa cirri-ciri tertentu, seperti:
·         Terdapat isi, arah, dan intensitas mengenai pendapat umum.
·          Dibuat berdasarkan fakta, bukan kata-kata.
·         Kontroversi menandai pendapat umum; maksudnya sesuatu yang tidak disepakati oleh seluruh rakyat.
·         Mempunyai volume berdasarkan kenyataan bahwa kontroversi itu menyentuh semua orang yang merasakan konsekuensi langsung dan tidak langsung.
·         Relatif tetap. Maksudnya adalah pendapat umum ini tidak dapat dikatakan berapa lama akan bertahan namun biasanya sering bertahan agak lama.
·          Penampilannya pluralis
Selain itu pendapat umum dapat dibagi menjadi dua yaitu pendapat umum laten dan pendapat umum aktual. Pendapat umum laten ialah pendapat umum yang tersembunyi, namun sangat potensial, karena dalam masa tertentu dapat menjadi riil dan aktual sehingga perlu diperhatikan. Sedangkan pendapat umum aktual ialah pendapat umum yang sudah nyata karena dinyatakan secara terbuka dan ditanggapi serta berpengaruh secara luas.
Proses terbentuknya pendapat umum menurut Cutlip dan Center ada empat tahapan:
ü  Ada masalah yang perlu dipecahkan sehingga orang mencari alternatif pemecahan.
ü  Munculnya beberapa alternatif memungkinkan terjadinya diskusi untuk memilif alternatif.
ü  Dalam diskusi diambil keputusan yang melahirkan kesadaran kelompok.
ü  Untuk melaksanakan keputusan, disusunlah program yang memerlukan dukungan yang lebih luas.
Menurut Erikson, Lutberg, dan Tedin ada empat tahapa proses terbentuknya pendapat umum:
Ø  Muncul isu yang dirasakan sangat relevan bagi kehidupan orang banyak.
Ø  Isu tersebut relative baru sehingga menimbulkan kekaburan standar penilaian atau standar ganda.
Ø  Adanya tokoh pembentuk opini (opinion leader) yang tertarik dengan isu tersebut.
Ø  Mendapat perhatian pers sehingga informasi dan reaksi terhadap isu tersebut dapat diketahui oleh khalayak.
Dalam proses terbentuknya pendapat umum tidak hanya berlangsung proses komunikasi massa melainkan juga proses komunikasi antarpribadi.
Mengendalikan Pendapat Umum
Pendapat umum yang sehat hanya dapat tumbuh di dalam masyarakat yang mempunyai kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat serta kebebasan pers. Selain itu juga penting minat yang cukup besar dari rakyat terhadap soal-soal pemerintahan dan negara, adanya pendidikan politik yang cukup tinggi bagi rakyat, dan adanya kesediaan masyarakat dalam untuk mengutamakan kepentingan bersama.
Pendapat umum juga dapat tumbuh dengan baik jika tersedia media massa dan media lainnya yang sehat dan objektif, dan adanya organisasi politik seperti partai politik, lembaga parlemen, danlembaga peradilan dan birokrasi yang sudah mapan dan berwibawa. Selain itu juga harus ada organisasi non politik seperti lembaga sosial, lembaga pendidikan dan sebagainya.
Organisasi politik atau lembaga apapun dapat melakukan pengendalian pendapat umum. Menurut James B. Orrick, faktor pertama yaitu, jangan berdebat, karena perdebatan dapat memancing emosi dan antagonisme. Faktor kedua, kemukakan fakta-fakta. Hal ini akan lebih efektif daripada analisis-analisis yang abstrak dan menghindarkan dari perdebatan. Faktor ketiga, ungkapkan pernyataan-pernyataan yang positif. Pernyataan-pernyataan yang positif dan menyentuh kepentingan dan kebutuhan public yang dikemukakan secara berulang-ulang  dan secara psikologis akan mempengaruhi pendapat public.
Jadi, untuk mengendalikan pendapat umum atau menciptakan pendapat umum yang baik, harus dilakukan komunikasi yang efektif. Komunikasi politik yang efektif dapat dilakukan dengan cara:
v  Mengenal khalayak yang akan dijadikan sasaran
v  Merencanakan pesan yang ingin disampaikan
v  Memilih metode penyampaian yang tepat
v  Menyeleksi media yang sesuai dengan keadaan dan lokasi khalayak
v  Memilih komunikator yang terpercaya bagi khalayak
C.    PEMILU
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.
Umumnya ada dua system pelaksanaan pemilihan umum yang dipakai, yaitu sebagai berikut:
1. Sistem Distrik
Sistem ini diselenggarakan berdasarkan lokasi daerah pemilihan, dalam arti tidak membedakan jumlah penduduk, tetapi tempat yang sudah ditentukan. Jadi daerah yang sedikit penduduknya memiliki wakil yang sama dengan daerah yang padat penduduknya. Oleh karena itu sudah barang tentu banyak jumlah suara yang akan terbuang di satu pihak tetapi malahan menguntungkan pihak yang renggang penduduknya. Tetapi karena wakil yang akan dipilih adalah orangnya langsung, maka pemilih akrab dengan wakilnya (personal stelsel). Satu distrik biasanya satu wakil (single member constituency).
Kelebihan sistem distrik :
a.       Karena kecil atau tidak terlalu besarnya distrik maka biasanya ada hubungan atau kedekatan antara kandidat dengan masyarakat di distrik tersebut. Kandidat mengenal masyarakat serta kepentingan yang mereka butuhkan.
b.      Sistem ini akan mendorong partai politik untuk melakukan penyeleksian yang lebih ketat dan kompetitif terhadap calon yang akan diajukan untuk menjadi kandidat dalam pemilihan.
c.       Karena perolehan suara partai-partai kecil tidak diperhitungkan, maka secara tidak langsung akan terjadi penyederhanaan partai politik. Sistem dwipartai akan lebih berkembang dan pemerintahan dapat berjalan dengan lebih satbil.
Kekurangan sistem distrik :
a.       Sistem ini kurang representatif karena perolehan suara kandidat yang kalah tidak diperhitungkan sama sekali atau suara tersebut dianggap hilang.
b.      Partai-partai kecil atau golongan/kelompok minoritas/termarjinalkan yang memperoleh suara yang lebih sedikit tidak sksn terwakili (tidak memiliki wakil) karena suara mereka tidak diperhitungkan. Dalam hal ini, kaum perempuan memiliki peluang yang kecil untuk bersaing mengingat terbatasnya kursi yang diperebutkan.
c.       Wakil rakyat terpilih akan cenderung lebih memperhatikan rakyat di distriknya dibandingkan dengan distrik-distrik lain.
2. Sistem Proporsional
Sistem ini didasari jumlah penduduk yang akan menjadi peserta pemilih, misalnya setiap 40.000 penduduk pemilih memperoleh satu wakil (suara berimbang), sedangkan yang dipilih adalah kelompok orang yang diajukan kontestan pemilu, yaitu para partai politik (multi member constituency) yang dikenal lewat tanda gambar (lijsten stelsel), sehingga wakil dan pemilih kurang akrab.
Hal ini cukup adil dalam keseimbangan jumlah, bahkan sisa suara dapat digabung secara nasional untuk kursi tamabahan, dengan demikian partai kecil dapat dihargai tanpa harus beraliansi, karena suara pemilih dihargai. Tetapi resikonya banyak wakil setoran dari pemerintah pusat karena adakalanya salah satu jumlah yang memenuhi syarat tidak memiliki wakil yang tepat.
Kelebihan sistem pemliu proporsional :
a.       Menyelamatkan suara masyarakat pemilih dimana suara kandidat yang lebih kecil dari kandidat yang lain tetap akan diperhitungkan sehingga sedikit suara yang hilang.
b.      Memungkinkan partai-partai yang memperoleh suara atau dukungan yang lebih sedikit tetap memiliki wakil di parlemen karena suara mereka tidak otomatis hilang atau tetap diperhitungkan.
c.       Memungkinkan terpilihnya perempuan karena kursi yang diperebutkan dalam satu daerah pemilihan lebih dari satu.
Kekurangan sisten pemilu proporsional :
a)       Sistem ini cenderung menyuburkan sistem multipartai yang dapat mempersulit terwujudnya pemerintahan yang stabil.
b)      Biasanya antara pemilih dengan kandidat tidak ada kedekatan secara emosional. Pemilih tidak atau kurang mengenal kandidat, dan kandidat juga tidak mengenal karakteristik daerah pemilihannya, masyarakat pemilih dan aspirasi serta kepentingan mereka. Kandidat lebih memiliki keterikatan dengan partai politik sebagai saluran yang mengusulkan mereka. Pada akhirnya nanti, kandidat yang terpilih mungkin tidak akan memperjuangkan dengan gigih kepentingan pemilih karena tidak adanya kedekatan emosional tadi.
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Sepanjang sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 10 kali pemilu anggota lembaga legislatif yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009.
1.      Pemilu 1955
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
·         Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
·         Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
2.      Pemilu 1971
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.
3.      Pemilu 1977-1997
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.
4.      Pemilu 1999
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
5.      Pemilu 2004
Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden.
6.      Pemilu 2009
Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.
D.    KEBIJAKAN PUBLIK
Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).
Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.
Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4).
Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public actor, terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 – 372): Bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.
Demikian pula berkaitan dengan kata kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha 2003: 492-499) bahwa kata kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang mempunyai arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi actor dan lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat.
Dengan demikian yang dimaksud kebijakan dalam Kybernology adalah sistem nilai kebijakan dan kebijaksanaan yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan. Selanjutnya kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan antara lain menjadi: model kelembagaan, model elit, model kelompok, model rasional, model inkremental, model teori permainan, dan model pilihan publik, dan model sistem.
Selanjutnya tercatat tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model pengamatan terpadu, model demokratis, dan model strategis. Terkait dengan organisasi, kebijakan menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of Management adalah suatu pedoman yang menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang memberikan suatu batas umum dan arah sasaran tindakan yang akan dilakukan pemimpin (Terry, 1964:278).
Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:
1.      Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.
2.      Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
3.      Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.
Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding Public Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3) “Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil”.
Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US, (Said Zainal Abidin,2004: 23) kebijakan publik biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya.
Selanjutnya kebijakan publik tersebut setelah melalui analisa yang mendalam dan dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan publik. Dalam merumuskan kebijakan publik Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan yaitu:
·         Model Kelembagaan;
·         Model Elit;
·         Model Kelompok;
·         Model Rasional;
·         Model Inkremental;
·         Model Teori Permainan;
·         Model Pilihan Publik;
·         Model Sistem
Selain itu ada tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu:
ü  Model Pengamatan Terpadu;
ü  Model Demokratis;
ü  Model Strategis
Kebijakan publik dalam praktik ketatanegaraan dan kepemerintahan pada dasarnya terbagi dalam tiga prinsip yaitu: pertama, dalam konteks bagaimana merumuskan kebijakan publik (Formulasi kebijakan); kedua, bagaimana kebijakan publik tersebut diimplementasikan dan ketiga, bagaimana kebijakan publik tersebut dievaluasi (Nugroho 2004,100-105)
Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn. adalah sebagai berikut:
1.      Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.
Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986)[2] diantaranya:
a)      telah mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius;
b)      telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis;
c)      menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa;
d)     menjangkau dampak yang amat luas ;
e)      mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
f)       menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)
Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
Ilustrasi : Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.
Penyusunan agenda kebijakan sebaiknya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
2.      Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
3.      Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.
4.      Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Citra politik menurut Cangara (2007) adalah idenditas politik, yang merupakan visualisasi dari atribut yang diberikan dan dipersepsikan oleh pihak luar tentang seorang kandidat maupun partai politik. Citra politik dalam hal ini bisa berupa reputasi dan kredibilitas seorang kandidat maupun partai politik yang dipersepsikan oleh masyarakat luas. Semakin baik reputasi dan kredibilitas seorang kandidat maupun partai politik, maka akan semakin besar peluang untuk dipilih masyarakat dalam pemilihan umum.
2.      Partisipasi politik dipahami sebagai kegiatan sukarela (tanpa paksaan) warga negara dalam proses politik. Seorang tokoh partisipasi Herbet McClosky mengungkapkan pengertian Partisipasi politik, sebagai berikut : Partisipasi politik adalah kegiatan sukarela dari warga negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum (The term political participation will refer to those voluntary activities by which members of society share in the selection of rulers and, directly, in the formation of public policy).
3.      Pendapat umum ialah gabungan pendapat perseorangan mengenai suatu isu yang dapat mempengaruhi orang lain, serta memungkinkan seseorang dapat mempengaruhi pendapat-pendapat tersebut. Ini berarti pendapat umum hanya bisa terbentuk kalau menjadi pembicaraan umum, atau jika banyak orang penting (elit) mengemukakan pendapat mereka tentang suatu isu sehingga bisa menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota masyarakat.
4.      Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
5.      Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).

B.     Saran-saran
Makalah ini tentunya msih jauh dari nilai kesempurnaan, karena di buat hanya sebatas khazanah pengetahuan kami itu pun denga referensi yang masih sangat minim. Oleh karena itu kritk dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.


DAFTAR PUSTAKA
1.       a b William Dunn. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, 1998, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal: 24
2.      Kebijakan Publik: teori dan Proses. Jakarta: PT Buku Kita. Hlm 33.
3.      William N Dunn.1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press)
4.      Sumber buku Analisis Kebijakan Publik karya Liesty Referensi
5.      Arifin, Anwar, 2003. Komunikasi Politik. Jakarta: PT. Balai Pustaka
6.      Nimmo, Dan, 2001. Komunikasi PolitikKhalayak dan Efek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
7.      Rochajat Harun, Ir., MED., PhD dan Sumarno., Drs.,S.H.2006. Komunikasi Politik Sebagai Suatu Pengantar. Bandung: CV. Mandar Maju.