SISTEM KOMUNIKASI
INDONESIA
ERA REFORMASI
Diajukan untuk memenuhi salah
satu tugas
mata kuliah Sistem Komunikasi
Indonesia
Oleh;
Sri Rosmayanti
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1.
Pengertian
Sistem Komunikasi Indonesia
Menurut Tatang M Anirim, sistem adalah sekumpulan
unsur yang melakukan kegiatan atau menyusun skema dalam melakukan tatacara
suatu kegiatan pemprosesan untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan. Di
Indonesia dikenal beberapa bangunan sistem, misalnya Sistem Hukum Indonesia,
Sistem Politik Indonesia, Sistem Sosial Indonesia, Sistem Budaya Indonesia,
Sistem Ekonomi Indonesia dan sistem-sistem nilai lainnya yang dapat dijadikan
pedoman dalam proses interaksi antar orang di Indonesia.
Selain itu, yang paling utama dalam berinteraksi
diperlukan sistem komunikasi, Sistem
Komunikasi adalah sekumpulan unsur-unsur atau orang-orang yang
mempunyai pedoman dan media yang melakukan suatu kegiatan mengelola, menyimpan,
mengeluarkan ide, gagasan, simbol, dan lambang yang menjadikan pesan dalam
membuat keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan dan saling pengertian
satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi.
Dalam kehidupan komunikasi juga mulai dikenal dengan
istilah Sistem Komunikasi Indonesia. Sistem ini merupakan rumusan baru
bagi Indonesia meskipun pelaksanaannya secara implisit telah
dilakukan oleh Bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, terutama
melalui norma Sistem Pers Indonesia. Namun rumusan yang jelas tentang
Sistem Komunikasi Indonesiamasih belum dimiliki.
Dengan merumuskan Sistem
Komunikasi Indonesia maka kita akan memiliki sebuah bangunan sistem
dalam berkomunikasi yang seragam serta menjadi ciri dan karakter
BangsaIndonesia. Bangunan dari sistem komunikasi Indonesia itu akan
berlandaskan pada pola komunikasi yang dikembangkan di Indonesia dengan
perangkat nilai dan perundangan yang ada. Sebab pola komunikasi didalam suatu
negara akan menentukan bangunan sistem komunikasi yang akan dikembangkan di
negara ini.
2.
Pengertian
Reformasi dan Sejarahnya
Reformasi secara
umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang
telah ada pada suatu masa. Di Indonesia,
kata Reformasi umumnya
merujuk kepada gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan
kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah Orde Baru. Kendati demikian, kata Reformasi sendiri
pertama-tama muncul dari gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di Eropa
Barat pada abad ke-16, yang dipimpin oleh Martin Luther, Ulrich
Zwingli,Yohanes Calvin, dll.
Pemilihan Umum (pemilu) yang
dilangsungkan tanggal 7 Juni 1999 lalu adalah tonggak penting dalam upaya
Bangsa Indonesia melepaskan diri dari belenggu ke otoriteran dan menumbuhkan
masyarakat madani yang demokratis. Peristiwa ini merupakan perwujudan
dari semangat Reformasi yang dipekikkan mahasiswa
Indonesia di awal dan pertengahan tahun 1998.
Berikut ini adalah Garis-waktu
pertamaberisi berita tentang krisis ekonomi parah yang melanda Indonesia,
dilanjutkan dengan demonstrasi
mahasiswa di seantero negeri
melawan rejim yang telah berkuasa sedemikian lama, diikuti dengan berbagai
laporan tentangtragedi Trisakti dan kerusuhan besar di Jakarta,
sampai akhirnya pada 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri dari
jabatan Presiden RI yang sudah dipegangnya selama 32 tahun.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah diuraikan sebelumnya, maka penulis dapat
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan Sistem
Komunikasi Indonesia?
2.
Mengetahui apa yang dimaskud dengan Reformasi dan
Sejarahnya?
3.
Mengetahui bagaimana jalannya sistem komunikasi
Indonesia pada Era Reformasi?
C. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat dari penyusunan makalah ini,
antara lain:
·
Diharapkan makalah ini dijadikan sebagai bahan kajian
lebih lanjut.
·
Dengan makalah ini dimaksudkan untuk dapat memberi
pemahaman tentang Sistem Komunikasi pada Era Reformasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Komunikasi
Indoesia Era Reformasi
1. Perkembangan komunikasi dalam
Era Reformasi di Indonesia.
Melihat perkembangan politik di negara
kita saat ini sebagai dampak dari adanya reformasi, telah muncul berbagai
pemikiran mengenai negara dalam rangka mencari format yang pas bagi pelaksanaan
sistem politik di Indonesia. Beberapa diantaranya ialah adanya gagasan
untuk membentuk negara federal, menguatnya tuntutan otonomi, adanya gugatan
terhadap Pancasila sebagai satu-satunya azas otonomi, terbentuknya
partai-partai politik yang kian hari kian bertambah, semakin maraknya unjuk
rasa yang dilakukan oleh berbagai lapisan dan golongan masyarakat.
Didalam dunia komunikasi juga terjadi perkembangan
baru, antara lain dicabutnya Keputusan Menteri Penerangan tentang peraturan
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), sehingga pengurusannya menjadi lebih
mudah, terbangunnya keberanian moral dalam menyampaikan aspirasi dan koreksi
meskipun terkadang tidak sejalan dengan pemerintah, adanya toleransi yang
tinggi dalam perbedaan pendapat, penggunaan media massa yang semakin berani
dalam menyajikan fakta atau opini serta berbagai perkembangan lain yang pada
akhirnya bermuara kepada suatu komitmen yakni bagaimana persatuan dan kesatuan
tetap dapat dipelihara dalam dinamika yang sedang berkembang sekarang ini.
Walaupun begitu selain dampak positif yang
hadir setelah reformasi terdapat juga banyak dampak negatif sebagai bentuk dari
kebebasan komunikasi pada saat ini. Namun perlu disadari sebelum menilai dampak
negatif yang terjadi, kita semua harus menyadari bahwa dampak negatif ini
merupakan bagian proses untuk mencari bentuk yang pas dari Sistem Komunikasi
Indonesia. Beberapa bentuk damapak negatif dari kebebasan komunikasi yang
adalah munculnya acara-acara yang mengarah pada pornografi, hadiranya
tayangan-tayangan yang tidak mendidik, munculnya kekerasan yang mencontoh tayangan
telivisi dll.
B. Pengaturan Kebebasan
Informasi Publik (KIP)
Undang-Undang Kebebasan
Informasi Publik (KIP) memang tidak lain merupakan upaya pemerintah untuk
mengejawantahkan amanat konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 F
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam
Pasal 3 Undang-Undang KIP juga diuraikan secara jelas kerangka tujuan yang
diharapkan tercapai, antara lain sebagai berikut:
Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana
pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan
keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
1.
Mendorong partisipasi
masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
2.
Meningkatkan peran
aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan
publik yang baik;
3.
Mewujudkan
penyelenggaraan negara yang baik, yaitu transparan, efektif dan efisien,
akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
4.
Mengetahui alasan
kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
5.
Mengembangkan ilmu
pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
6.
Meningkatkan
pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan publik untuk
menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
1. Pelaksanaan Kebebasan
Informasi Publik (KIP)
Prinsip-prinsip kebebasan
memperoleh informasi ini sebenarnya telah banyak dikenal dalam banyak produk
legislasi di Indonesia sebelum disahkannya UU KIP. Dalam UUD 1945, hal ini
terdapat dalam Pasal 28 F. Di luar UUD 1945, terdapat sejumlah peraturan lain
yang memberikan kesempatan pada masyarakat untuk memperoleh informasi, antara
lain:[15]
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, dimana Pasal 4 menyebutkan bahwa: ”Setiap
orang berhak untuk mengetahui rencana tata ruang.” Ketentuan ini dilanjutkan
dengan PP Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta
Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang, dimana Pasal
2 huruf b menyatakan bahwa: ”Dalam kegiatan penataan ruang masyarakat berhak:
(b) mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah, rencana tata ruang
kawasan, rencana rinci tata ruang kawasan.” Kemudian Pasal 3 ayat (2)
menyatakan bahwa: ”Dalam rangka memenuhi hak masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), menyebarluaskan rencana tata ruang yang telah ditetapkan pada
tempat-tempat yang memungkinkan masyarakat mengetahui dengan mudah.”
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana Pasal 5 menyatakan bahwa: “Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup
yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.”
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 199 tentang
Perlindungan Konsumen, dimana Pasal 3 huruf d menyatakan bahwa: “Perlindungan
konsumen bertujuan (d) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi”. Kemudian Pasalmenyatakan bahwa: “Hak konsumen adalah: hak atas
informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa.” Selanjutnya Pasal 7 huruf b menyatakan bahwa: “Kewajiban pelaku usaha adalah:
(b) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan.”
SK KMA 144/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
Berkaca dari adanya beberapa
pengaturan mengenai kebebasan memperoleh informasi diatas, seyogyanya
masyarakat mudah untuk memperoleh informasi. Namun faktanya banyak sekali kasus
dalam masyarakat dimana masyarakat sulit mendapatkan informasi, banyaknya
peraturan yang tidak diketahui oleh masyarakat, adanya berbagai praktek
penyimpangan informasi yang ada serta penyalahgunaan informasi untuk
kepentingan ekonomi pribadi pejabat publik itu sendiri. Sebagai contoh yang
sepele, dalam hal pengurusan KTP, meski tercantum gratis pengurusan KTP,
biasanya masyarakat tetap dikenakan biaya oleh petugas kelurahan dengan biaya
yang variatif tergantung kelurahannya dan pekerjaan si pemohon KTP tersebut.
Akibatnya, perkembangan kebebasan informasi publik di Indonesia pun cenderung
lambat. Berikut adalah beberapa alasan lambatnya kebebasan mengakses informasi
di Indonesia:
1. Tidak
mampu atau tidak terbiasa meminta informasi yang penting untuk mereka
Bagi sebagian besar rakyat kecil di Indonesia, salah
satu pintu informasi untuk mendapatkan informasi public, khususnya menyangkut
pelayanan publik, yaitu melalui lingkungan masyarakat sekitar mereka tinggal,
misalnya seperti dengan saling bertanya dari mulut ke mulut antar tetangga.
Keterbatasan ilmu pengetahuan yang disebabkan rendahnya tingkat pendidikan
seringkali menyebabkan sebagian besar mayarakat Indonesia kurang mengerti dan
menyadari hak-hak mereka untuk memperoleh informasi, terutama tentang pelayanan
publik. Namuan apabila kemudian ada yang paham tentang kebutuhan ini, belum
tentu juga ia paham mengenai cara memperoleh informasi tersebut. Ditambah lagi
dengan kondisi birokrasi di Indonesia yang masih sering ‘melumpuhkan’ keinginan
dan/atau kemampuan masyarakat untuk mengakses informasi secara mandiri.
Akibatnya praktik percaloan di Indonesia menjadi suatu momok yang makin
menyurutkan keinginan dan/atau kemampuan mayarakat dalam mengakses informasi
yang ia butuhkan.
2. Tidak
terbiasa mengikuti prosedur birokrasi yang rumit
Selain rendahnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh
masyarakat seperti diuraikan di atas, tuntutan hidup yang kian membutuhkan
waktu cepat turut menyebabkan masyarakat untuk tidak begitu menyukai prosedur
birokrasi yang hingga kini cenderung berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang
relatif lama. Akibatnya mereka tidak terbiasa memilih alur birokrasi yang
sesuai prosedur, bahkan lebih memilih menyerahkan urusan dengan calo atau lebih
buruknya lagi menyuap aparat birokrasi dengan harapan urusannya dapat lebih
cepat selesai.
3. Lamanya
waktu mengakses informasi
Ketersediaan informasi yang kurang memanfaatkan
perkembangan teknologi informasi semakin memperburuk dan memperlambat laju
informasi yang kiranya bersifat segera, supaya dapat bermanfaat bagi publik.
4. Prosedur
yang belum jelas dan terbuka
Inisiatif serta inovasi para pejabat publik dalam
menyajikan informasi publik sangat diharapkan selama ini oleh masyarakat. Salah
satunya ialah keterbukaan atas informasi menyangkut prosedur untuk memperoleh
informasi public yang dibutuhkan oleh masyarakat. Keterbukaan mengenai
prosediur ini sebenarnya merupakan gerbang awal yang seharusnya dikembangkan,
sehingga masyarakat pengguna informasi merasa dipermudah dan dijamin hak-haknya
atas informasi publik dimaksud.
5. Fenomena
ketakutan kepada pejabat publik pelayan informasi
Adanya gap antara pejabat publik
dengan rakyatnya sebagai pengguna informasi publik, penyalahgunaan wewenang
oleh pejabat serta adanya peluang pidana berupa pencemaran nama baik dan lain
sebagainya cenderung membuat masyarakat enggan dan khawatir bila sikap mereka
yang begitu aktif dan kritis terhadap hak untuk memperoleh informasi. Gambaran
pejabat publik Indonesia saat ini memang masih jauh dari ramah dan tulus
melayani masyarakat.
Meskipun dalam praktek UU KIP
ini belum banyak diterapkan secara komprehensif, namun upaya mewujudkan
pola-pola kerja birokrasi yang profesional, transparan dan berorientasi pada
kepentingan publik mulai menemukan titik terangnya. Meski tidak selalu
berhasil, berikut ini adalah beberapa daerah yang telah berupaya mewujudkan prinsip-prinsip
keterbukaan informasi publik di daerah otonominya, antara lain:
1. Kota
Gorontalo
Perda Transparansi yang dilaksanakan dengan
Keputusan Walikota Gorontalo Nomor 2421 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Perda
Nomor 3 Tahun 2002 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Kota
Gorontalo, Walikota Gorontalo mewajibkan badan publik untuk menunjuk pejabat
fungsional di masing-masing unit kerja, merumuskan mekanisme pelayanan
dokumentasi dan informasi, mekanisme pendokumentasian dan penyiapan data serta
informasi unit kerja dan menentukan jenis-jenis informasi yang wajib diumumkan
yang tersedia setiap saat dan yang diumumkan secepatnya.
Namun dalam Pelaksanaannya tidak ada pejabat khusus
yang melayani informasi dan dokumentasi. Prosedur pelayanan informasi di Kantor
Pelayanan Satu Atap hanya melalui informasi yang dipajang di papan pengumuman.
Informasi itu terkait tata cara mengurus perizinan dimana masyarakat yang
menjadi pemohon izin harus datang ke kantor itu dan melihat langsung di papan
pengumuman. Tidak ada prosedur baku untuk masyarakat yang memerlukan informasi
di luar tata cara itu, misalnya data jumlah pengajuan izin dan sebagainya.
Prosedur pelayanan informasi di Bagian Humas benar-benar tidak ada. Masyarakat
yang ingin mengakses informasi harus datang langsung ke kantor Humas dan
menemui siapa saja pejabat humas yang ada untuk meminta informasi.
2. Kabupaten
Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Contoh lain ialah penerapan keterbukaan informasi
publik di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam lingkup
transparansi dana publik. Pada tahun 2005, Pemkab Bantul menetapkan Perda
tentang Transparansi dan Partisipasi Publik, namun implementasinya elit
mendominasi prosedur penganggaran. Prosedur yang berjalan cenderung teknokratik
(BAPPEDA, SKPD) dan politik (partai politik). Perencanaan program tidak sinkron
dengan proses penganggaran. Masalah tersebut dapat terlihat dari data yang
didapat di lapangan, antara lain (hasil pengamatan IDEA, 2008):
ü Anggaran
pendidikan mencapai 40% total belanja tahun 2006 tetapi 34,8% dihabiskan untuk
gaji pejabat;
ü Pemkab
Bantul memiliki 11 rekening bank non-budgeter dari program CSR
dan pihak ketiga untuk gempa yang tidak dipublikasikan; dan
ü Revisi
anggaran pasca gempa 2006 tidak menyentuh pengurangan gaji dan insentif pejabat
tetapi justru memotong dana sosial.
2.
Implementasi UU Kebebasan Informasi Publik (KIP)
Meskipun UU KIP telah disahkan pada tahun 2008,
tepatnya tanggal 30 April 2008, UU KIP ini baru dapat berlaku pada tahun 2010,
tepatnya tanggal 30 April 2010. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 64 ayat (1)
UU KIP bahwa UU KIP berlaku 2 tahun setelah pengesahannya. Alasannya adalah
perlunya ada persiapan waktu bagi aparat dan lembaga pemerintahan terkait
dengan persiapan sarana dan prasarana serta pembentukan Komisi Informasi.
Keberlakuan UU KIP ini merupakan salah satu problem
sendiri mengingat lamanya masa yang dibutuhkan untuk keberlakuan UU KIP itu.
Ditakutkan oleh beberapa pihak, saat UU KIP ini diberlakukan nanti malah tidak
akan efektif. Selain masalah keberlakuan, dalam UU KIP ini juga terdapat
beberapa pasal karet, seperti:
Pasal 52 yang menyebutkan, "Setiap orang yang
dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana
dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp5 juta."
Pasal 52 mengatur sanksi serupa untuk badan
publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan dan/atau tidak
menerbitkan informasi publik.
Padahal praktik-praktik dan
standar-standar hukum internasional , seperti yang termaktub dalam kajian Toby
Mendel tentang Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, hanya mengatur tentang akses informasi publik.,
bukan malah mengatur sanksi pidana dan penggunaan informasi publik itu sendiri.
Misalnya, Pasal 19 DUHAM PBB yang diterbitkan pada 1948 yang menyebutkan setiap
orang memiliki hak asasi manusia untuk mencari, menerima, dan menyebarkan
informasi dan gagasan-gagasan melalui segala media dan tanpa memandang
batas-batas wilayah.
Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut bisa diinterpretasikan
secara beragam. Pasal-pasal karet tersebut pun juga rentan penyimpangan
wewenang oleh pemerintah. Bisa saja terjadi, aparat hukum dan badan publik
menggunakan ketentuan ini untuk mengancam pengguna informasi publik, seperti
media dalam mencari informasi publik dan menyebarkannya kepada masyarakat.
Sementara itu, badan publik yang seharusnya menyediakan informasi publik dapat
menggunakan alasan rahasia negara untuk menghindari pemberian informasi publik.
Terlepas dari kekurangan diatas, UU KIP tetap memiliki
keuntungan sebagai berikut:
·
Bernilai strategis dan
dapat membuka terobosan bagi serta mendorong penyegeraan dan penuntasan
pembahasan RUU terkait dengan kepentingan publik, seperti RUU Pelayanan Publik
yang masih dibahas di DPR.
·
UU KIP dapat memberikan
landasan hukum dan informasi yang cukup bagi masyarakat akan haknya atas
pelayanan publik dari pemerintah, terutama landasan bagi masyarakat dalam
mengevaluasi kebijakan publik sekaligus berpartisipasi dalam proses kebijakan
publik.
·
UU KIP dapat dilihat
sebagai upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik di dalam
badan publik dan para pejabat publik.
·
UU KIP juga dapat
memaksa dan mendorong LSM dan partai politik untuk menerapkan transparansi,
terutama dalam hal keuangan dan kegiatannya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1.
Sistem
Komunikasi terdiri dari dua kata yakni sistem dan komunikasi. Sistem adalah
sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian dimana bagian-bagian, dimana
bagian-baian itu salaing ketergantungan fdan bersifat ajeg. Dan komunikasi itu
sendiri adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan
melalui sebuah saluran untuk menghasilkan efek. Dan jika keduanya dikaitakan
menjadi Sistem Komunikasi Indonesia mengandung makna proses komunikasi menurut
norma-norma ikatan sistem yang berlaku di Indonesia dari mulai dari pembentukan
sumber dan pengelolaan sumber informasi.
2.
Pola
komunikasi dalam suatu bangsa selalu dipengaruhi oleh pandangan hidup bangsanay
sekaligus memberikan bentuk bagi falsafah komunikasi yang dianut dalam
proses interaksi antar orang yang terjadi di negara itu.
3. Reformasi secara
umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang
telah ada pada suatu masa. Di Indonesia,
kata Reformasi umumnya merujuk kepada gerakan
mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau
era setelah Orde Baru Kendati demikian, kata Reformasi sendiri pertama-tama muncul dari
gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di Eropa Barat pada abad ke-16,
yang dipimpin oleh Martin Luther, Ulrich
Zwingli,Yohanes Calvin, dll.
B. Saran-saraan
Makalah ini tentunya msih jauh dari nilai kesempurnaan,
karena di buat hanya sebatas khazanah pengetahuan kami itu pun denga referensi
yang masih sangat minim. Oleh karena itu kritk dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan
Referensi:
·
Redi Panuju “system
Komunikasi Indonesia
·
Good
Governance dan Lingkungan, (Jakarta: Indonesian Center for Environmental
Law (ICEL),
2001).
·
Koalisi
untuk Kebebasan Informasi, Melawan
Tirani Informasi,
(Jakarta: Koalisi untuk Kebebasan Informasi, 2001),