Senin, 23 April 2012


SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA
ERA REFORMASI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Sistem Komunikasi Indonesia
Oleh;
Sri Rosmayanti



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah

1.      Pengertian Sistem Komunikasi Indonesia
Menurut Tatang M Anirim, sistem adalah sekumpulan unsur yang melakukan kegiatan atau menyusun skema dalam melakukan tatacara suatu kegiatan pemprosesan untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan. Di Indonesia dikenal beberapa bangunan sistem, misalnya Sistem Hukum Indonesia, Sistem Politik Indonesia, Sistem Sosial Indonesia, Sistem Budaya Indonesia, Sistem Ekonomi Indonesia dan sistem-sistem nilai lainnya yang dapat dijadikan pedoman dalam proses interaksi antar orang di Indonesia.
Selain itu, yang paling utama dalam berinteraksi diperlukan sistem komunikasi, Sistem Komunikasi adalah sekumpulan unsur-unsur atau orang-orang yang mempunyai pedoman dan media yang melakukan suatu kegiatan mengelola, menyimpan, mengeluarkan ide, gagasan, simbol, dan lambang yang menjadikan pesan dalam membuat keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi.
Dalam kehidupan komunikasi juga mulai dikenal dengan istilah Sistem Komunikasi Indonesia. Sistem ini merupakan rumusan baru bagi Indonesia meskipun pelaksanaannya secara implisit telah dilakukan oleh Bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, terutama melalui norma Sistem Pers Indonesia. Namun rumusan yang jelas tentang Sistem Komunikasi Indonesiamasih belum dimiliki.
Dengan merumuskan Sistem Komunikasi Indonesia maka kita akan memiliki sebuah bangunan sistem dalam berkomunikasi yang seragam serta menjadi ciri dan karakter BangsaIndonesia. Bangunan dari sistem komunikasi Indonesia itu akan berlandaskan pada pola komunikasi yang dikembangkan di Indonesia dengan perangkat nilai dan perundangan yang ada. Sebab pola komunikasi didalam suatu negara akan menentukan bangunan sistem komunikasi yang akan dikembangkan di negara ini.


2.      Pengertian Reformasi dan Sejarahnya
Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk kepada gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah Orde Baru. Kendati demikian, kata Reformasi sendiri pertama-tama muncul dari gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di Eropa Barat pada abad ke-16, yang dipimpin oleh Martin LutherUlrich Zwingli,Yohanes Calvin, dll.
Pemilihan Umum (pemilu) yang dilangsungkan tanggal 7 Juni 1999 lalu adalah tonggak penting dalam upaya Bangsa Indonesia melepaskan diri dari belenggu ke otoriteran dan menumbuhkan masyarakat madani yang demokratis.  Peristiwa ini merupakan perwujudan dari semangat Reformasi yang dipekikkan mahasiswa Indonesia di awal dan pertengahan tahun 1998.
Berikut ini adalah Garis-waktu pertamaberisi berita tentang krisis ekonomi parah yang melanda Indonesia, dilanjutkan dengan demonstrasi mahasiswa di seantero negeri melawan rejim yang telah berkuasa sedemikian lama, diikuti dengan berbagai laporan tentangtragedi Trisakti dan kerusuhan besar di Jakarta, sampai akhirnya pada 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI yang sudah dipegangnya selama 32 tahun.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis dapat  mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan Sistem Komunikasi Indonesia?
2.      Mengetahui apa yang dimaskud dengan Reformasi dan Sejarahnya?
3.      Mengetahui bagaimana jalannya sistem komunikasi Indonesia pada Era Reformasi?

C.    Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat dari penyusunan makalah ini, antara lain:
·         Diharapkan makalah ini dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut.
·         Dengan makalah ini dimaksudkan untuk dapat memberi pemahaman tentang Sistem Komunikasi pada Era Reformasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sistem Komunikasi Indoesia Era Reformasi

1.      Perkembangan komunikasi dalam Era Reformasi di Indonesia.
Melihat perkembangan politik di negara kita saat ini sebagai dampak dari adanya reformasi, telah muncul berbagai pemikiran mengenai negara dalam rangka mencari format yang pas bagi pelaksanaan sistem politik di Indonesia. Beberapa diantaranya ialah adanya gagasan untuk membentuk negara federal, menguatnya tuntutan otonomi, adanya gugatan terhadap Pancasila sebagai satu-satunya azas otonomi, terbentuknya partai-partai politik yang kian hari kian bertambah, semakin maraknya unjuk rasa yang dilakukan oleh berbagai lapisan dan golongan masyarakat.
Didalam dunia komunikasi juga terjadi perkembangan baru, antara lain dicabutnya Keputusan Menteri Penerangan tentang peraturan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), sehingga pengurusannya menjadi lebih mudah, terbangunnya keberanian moral dalam menyampaikan aspirasi dan koreksi meskipun terkadang tidak sejalan dengan pemerintah, adanya toleransi yang tinggi dalam perbedaan pendapat, penggunaan media massa yang semakin berani dalam menyajikan fakta atau opini serta berbagai perkembangan lain yang pada akhirnya bermuara kepada suatu komitmen yakni bagaimana persatuan dan kesatuan tetap dapat dipelihara dalam dinamika yang sedang berkembang sekarang ini.
Walaupun begitu selain dampak positif yang hadir setelah reformasi terdapat juga banyak dampak negatif sebagai bentuk dari kebebasan komunikasi pada saat ini. Namun perlu disadari sebelum menilai dampak negatif yang terjadi, kita semua harus menyadari bahwa dampak negatif ini merupakan bagian proses untuk mencari bentuk yang pas dari Sistem Komunikasi Indonesia. Beberapa bentuk damapak negatif dari kebebasan komunikasi yang adalah munculnya acara-acara yang mengarah pada pornografi, hadiranya tayangan-tayangan yang tidak mendidik, munculnya kekerasan yang mencontoh tayangan telivisi dll.
B.     Pengaturan Kebebasan Informasi Publik (KIP)
Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik (KIP) memang tidak lain merupakan upaya pemerintah untuk mengejawantahkan amanat konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam Pasal 3 Undang-Undang KIP juga diuraikan secara jelas kerangka tujuan yang diharapkan tercapai, antara lain sebagai berikut:
Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
1.      Mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
2.      Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik;
3.      Mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
4.      Mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
5.      Mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
6.      Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.

1.      Pelaksanaan Kebebasan Informasi Publik (KIP)
Prinsip-prinsip kebebasan memperoleh informasi ini sebenarnya telah banyak dikenal dalam banyak produk legislasi di Indonesia sebelum disahkannya UU KIP. Dalam UUD 1945, hal ini terdapat dalam Pasal 28 F. Di luar UUD 1945, terdapat sejumlah peraturan lain yang memberikan kesempatan pada masyarakat untuk memperoleh informasi, antara lain:[15]
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dimana Pasal 4 menyebutkan bahwa: ”Setiap orang berhak untuk mengetahui rencana tata ruang.” Ketentuan ini dilanjutkan dengan PP Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang, dimana Pasal 2 huruf b menyatakan bahwa: ”Dalam kegiatan penataan ruang masyarakat berhak: (b) mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah, rencana tata ruang kawasan, rencana rinci tata ruang kawasan.” Kemudian Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa: ”Dalam rangka memenuhi hak masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), menyebarluaskan rencana tata ruang yang telah ditetapkan pada tempat-tempat yang memungkinkan masyarakat mengetahui dengan mudah.”
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana Pasal 5 menyatakan bahwa: “Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.”
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen, dimana Pasal 3 huruf d menyatakan bahwa: “Perlindungan konsumen bertujuan (d) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi”. Kemudian Pasalmenyatakan bahwa: “Hak konsumen adalah: hak atas informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.” Selanjutnya Pasal 7 huruf b menyatakan bahwa: “Kewajiban pelaku usaha adalah: (b) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.”
SK KMA 144/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
Berkaca dari adanya beberapa pengaturan mengenai kebebasan memperoleh informasi diatas, seyogyanya masyarakat mudah untuk memperoleh informasi. Namun faktanya banyak sekali kasus dalam masyarakat dimana masyarakat sulit mendapatkan informasi, banyaknya peraturan yang tidak diketahui oleh masyarakat, adanya berbagai praktek penyimpangan informasi yang ada serta penyalahgunaan informasi untuk kepentingan ekonomi pribadi pejabat publik itu sendiri. Sebagai contoh yang sepele, dalam hal pengurusan KTP, meski tercantum gratis pengurusan KTP, biasanya masyarakat tetap dikenakan biaya oleh petugas kelurahan dengan biaya yang variatif tergantung kelurahannya dan pekerjaan si pemohon KTP tersebut. Akibatnya, perkembangan kebebasan informasi publik di Indonesia pun cenderung lambat. Berikut adalah beberapa alasan lambatnya kebebasan mengakses informasi di Indonesia:
1. Tidak mampu atau tidak terbiasa meminta informasi yang penting untuk mereka
Bagi sebagian besar rakyat kecil di Indonesia, salah satu pintu informasi untuk mendapatkan informasi public, khususnya menyangkut pelayanan publik, yaitu melalui lingkungan masyarakat sekitar mereka tinggal, misalnya seperti dengan saling bertanya dari mulut ke mulut antar tetangga. Keterbatasan ilmu pengetahuan yang disebabkan rendahnya tingkat pendidikan seringkali menyebabkan sebagian besar mayarakat Indonesia kurang mengerti dan menyadari hak-hak mereka untuk memperoleh informasi, terutama tentang pelayanan publik. Namuan apabila kemudian ada yang paham tentang kebutuhan ini, belum tentu juga ia paham mengenai cara memperoleh informasi tersebut. Ditambah lagi dengan kondisi birokrasi di Indonesia yang masih sering ‘melumpuhkan’ keinginan dan/atau kemampuan masyarakat untuk mengakses informasi secara mandiri. Akibatnya praktik percaloan di Indonesia menjadi suatu momok yang makin menyurutkan keinginan dan/atau kemampuan mayarakat dalam mengakses informasi yang ia butuhkan.
2. Tidak terbiasa mengikuti prosedur birokrasi yang rumit
Selain rendahnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat seperti diuraikan di atas, tuntutan hidup yang kian membutuhkan waktu cepat turut menyebabkan masyarakat untuk tidak begitu menyukai prosedur birokrasi yang hingga kini cenderung berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang relatif lama. Akibatnya mereka tidak terbiasa memilih alur birokrasi yang sesuai prosedur, bahkan lebih memilih menyerahkan urusan dengan calo atau lebih buruknya lagi menyuap aparat birokrasi dengan harapan urusannya dapat lebih cepat selesai.
3. Lamanya waktu mengakses informasi
Ketersediaan informasi yang kurang memanfaatkan perkembangan teknologi informasi semakin memperburuk dan memperlambat laju informasi yang kiranya bersifat segera, supaya dapat bermanfaat bagi publik.
4. Prosedur yang belum jelas dan terbuka
Inisiatif serta inovasi para pejabat publik dalam menyajikan informasi publik sangat diharapkan selama ini oleh masyarakat. Salah satunya ialah keterbukaan atas informasi menyangkut prosedur untuk memperoleh informasi public yang dibutuhkan oleh masyarakat. Keterbukaan mengenai prosediur ini sebenarnya merupakan gerbang awal yang seharusnya dikembangkan, sehingga masyarakat pengguna informasi merasa dipermudah dan dijamin hak-haknya atas informasi publik dimaksud.
5. Fenomena ketakutan kepada pejabat publik pelayan informasi
Adanya gap antara pejabat publik dengan rakyatnya sebagai pengguna informasi publik, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat serta adanya peluang pidana berupa pencemaran nama baik dan lain sebagainya cenderung membuat masyarakat enggan dan khawatir bila sikap mereka yang begitu aktif dan kritis terhadap hak untuk memperoleh informasi. Gambaran pejabat publik Indonesia saat ini memang masih jauh dari ramah dan tulus melayani masyarakat.
Meskipun dalam praktek UU KIP ini belum banyak diterapkan secara komprehensif, namun upaya mewujudkan pola-pola kerja birokrasi yang profesional, transparan dan berorientasi pada kepentingan publik mulai menemukan titik terangnya. Meski tidak selalu berhasil, berikut ini adalah beberapa daerah yang telah berupaya mewujudkan prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik di daerah otonominya, antara lain:
1.      Kota Gorontalo
Perda Transparansi yang dilaksanakan dengan Keputusan Walikota Gorontalo Nomor 2421 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Perda Nomor 3 Tahun 2002 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Kota Gorontalo, Walikota Gorontalo mewajibkan badan publik untuk menunjuk pejabat fungsional di masing-masing unit kerja, merumuskan mekanisme pelayanan dokumentasi dan informasi, mekanisme pendokumentasian dan penyiapan data serta informasi unit kerja dan menentukan jenis-jenis informasi yang wajib diumumkan yang tersedia setiap saat dan yang diumumkan secepatnya.
Namun dalam Pelaksanaannya tidak ada pejabat khusus yang melayani informasi dan dokumentasi. Prosedur pelayanan informasi di Kantor Pelayanan Satu Atap hanya melalui informasi yang dipajang di papan pengumuman. Informasi itu terkait tata cara mengurus perizinan dimana masyarakat yang menjadi pemohon izin harus datang ke kantor itu dan melihat langsung di papan pengumuman. Tidak ada prosedur baku untuk masyarakat yang memerlukan informasi di luar tata cara itu, misalnya data jumlah pengajuan izin dan sebagainya. Prosedur pelayanan informasi di Bagian Humas benar-benar tidak ada. Masyarakat yang ingin mengakses informasi harus datang langsung ke kantor Humas dan menemui siapa saja pejabat humas yang ada untuk meminta informasi.
2.      Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Contoh lain ialah penerapan keterbukaan informasi publik di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam lingkup transparansi dana publik. Pada tahun 2005, Pemkab Bantul menetapkan Perda tentang Transparansi dan Partisipasi Publik, namun implementasinya elit mendominasi prosedur penganggaran. Prosedur yang berjalan cenderung teknokratik (BAPPEDA, SKPD) dan politik (partai politik). Perencanaan program tidak sinkron dengan proses penganggaran. Masalah tersebut dapat terlihat dari data yang didapat di lapangan, antara lain (hasil pengamatan IDEA, 2008):
ü  Anggaran pendidikan mencapai 40% total belanja tahun 2006 tetapi 34,8% dihabiskan untuk gaji pejabat;
ü  Pemkab Bantul memiliki 11 rekening bank non-budgeter dari program CSR dan pihak ketiga untuk gempa yang tidak dipublikasikan; dan
ü  Revisi anggaran pasca gempa 2006 tidak menyentuh pengurangan gaji dan insentif pejabat tetapi justru memotong dana sosial.

2.      Implementasi UU Kebebasan Informasi Publik (KIP)
Meskipun UU KIP telah disahkan pada tahun 2008, tepatnya tanggal 30 April 2008, UU KIP ini baru dapat berlaku pada tahun 2010, tepatnya tanggal 30 April 2010. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 64 ayat (1) UU KIP bahwa UU KIP berlaku 2 tahun setelah pengesahannya. Alasannya adalah perlunya ada persiapan waktu bagi aparat dan lembaga pemerintahan terkait dengan persiapan sarana dan prasarana serta pembentukan Komisi Informasi.
Keberlakuan UU KIP ini merupakan salah satu problem sendiri mengingat lamanya masa yang dibutuhkan untuk keberlakuan UU KIP itu. Ditakutkan oleh beberapa pihak, saat UU KIP ini diberlakukan nanti malah tidak akan efektif. Selain masalah keberlakuan, dalam UU KIP ini juga terdapat beberapa pasal karet, seperti:
Pasal 52 yang menyebutkan, "Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 juta."
Pasal 52 mengatur sanksi serupa untuk badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan dan/atau tidak menerbitkan informasi publik.
Padahal praktik-praktik dan standar-standar hukum internasional , seperti yang termaktub dalam kajian Toby Mendel tentang Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, hanya mengatur tentang akses informasi publik., bukan malah mengatur sanksi pidana dan penggunaan informasi publik itu sendiri. Misalnya, Pasal 19 DUHAM PBB yang diterbitkan pada 1948 yang menyebutkan setiap orang memiliki hak asasi manusia untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan gagasan-gagasan melalui segala media dan tanpa memandang batas-batas wilayah. 
Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut bisa diinterpretasikan secara beragam. Pasal-pasal karet tersebut pun juga rentan penyimpangan wewenang oleh pemerintah. Bisa saja terjadi, aparat hukum dan badan publik menggunakan ketentuan ini untuk mengancam pengguna informasi publik, seperti media dalam mencari informasi publik dan menyebarkannya kepada masyarakat. Sementara itu, badan publik yang seharusnya menyediakan informasi publik dapat menggunakan alasan rahasia negara untuk menghindari pemberian informasi publik.
Terlepas dari kekurangan diatas, UU KIP tetap memiliki keuntungan sebagai berikut:
·         Bernilai strategis dan dapat membuka terobosan bagi serta mendorong penyegeraan dan penuntasan pembahasan RUU terkait dengan kepentingan publik, seperti RUU Pelayanan Publik yang masih dibahas di DPR.
·         UU KIP dapat memberikan landasan hukum dan informasi yang cukup bagi masyarakat akan haknya atas pelayanan publik dari pemerintah, terutama landasan bagi masyarakat dalam mengevaluasi kebijakan publik sekaligus berpartisipasi dalam proses kebijakan publik.
·         UU KIP dapat dilihat sebagai upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik di dalam badan publik dan para pejabat publik.
·         UU KIP juga dapat memaksa dan mendorong LSM dan partai politik untuk menerapkan transparansi, terutama dalam hal keuangan dan kegiatannya.


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Sistem Komunikasi terdiri dari dua kata yakni sistem dan komunikasi. Sistem adalah sesuatu yang terdiri dari bagian-bagian dimana bagian-bagian, dimana bagian-baian itu salaing ketergantungan fdan bersifat ajeg. Dan komunikasi itu sendiri adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui sebuah saluran untuk menghasilkan efek. Dan jika keduanya dikaitakan menjadi Sistem Komunikasi Indonesia mengandung makna proses komunikasi menurut norma-norma ikatan sistem yang berlaku di Indonesia dari mulai dari pembentukan sumber dan pengelolaan sumber informasi.
2.      Pola komunikasi dalam suatu bangsa selalu dipengaruhi oleh pandangan hidup bangsanay sekaligus memberikan bentuk bagi falsafah komunikasi yang dianut dalam proses interaksi antar orang yang terjadi di negara itu.
3.      Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk kepada gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah Orde Baru Kendati demikian, kata Reformasi sendiri pertama-tama muncul dari gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di Eropa Barat pada abad ke-16, yang dipimpin oleh Martin LutherUlrich Zwingli,Yohanes Calvin, dll.

B.     Saran-saraan
Makalah ini tentunya msih jauh dari nilai kesempurnaan, karena di buat hanya sebatas khazanah pengetahuan kami itu pun denga referensi yang masih sangat minim. Oleh karena itu kritk dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan
Referensi:
·         Redi Panuju “system Komunikasi Indonesia
·         Good Governance dan Lingkungan, (Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2001). 
·         Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Melawan Tirani Informasi, (Jakarta: Koalisi untuk Kebebasan Informasi, 2001),

Tidak ada komentar:

Posting Komentar