CITRA POLITIK, PARTISIPASI POLITIK
& PENDAPAT UMUM
PEMILIHAN UMUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu
tugas
mata kuliah Komunikasi Politik
Oleh:
Sri Rosmayanti
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah politik. Akan tetapi
publik cenderung buruk dalam memaknainya. Politik mengalami degradasi moral
dibandingkan dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya. Politik dikaitkan dengan
strategi tipu muslihat untuk meraih kekuasaan atau Sesuatu yang berhubungan
dengan penggulingan kekuasaan atau kudeta. Begitu buruknya citra politik di
mata publik seolah publik menjauhi persoalan apapun yang berkaitan dengan
politik.
Dalam
makalah ini kami akan mencoba membahas tentang Citra Politik, Partisipasi
Masyarakat& Pendapat Umum, Pemilihan Umum, dan kebijakan Publik, akan
tetapi sebelumnya kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan Politik itu
sendiri.
Berikut
adalah definisi Politik Menurut salah seorang ahli:
Menurut
Carl Schmidt
Politik
adalah suatu dunia yang didalamnya orang-orang lebih membuat keputusan -
keputusan daripada lembaga-lembaga abstrak.
B. Rumusan Maslah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan
Citra Politik?
2.
Mengetahui apa yang dimaskud dengan Partisipasi
Politi & Pendapat Umum?
3.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan
Pemilihan umum dan Sejarahnya?
4.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan
Kebijakan Publik dan cara penyusunannya?
C. Tujuan dan Manfaat
Adapun
tujuan dan manfaat dari penyusunan makalah ini, antara lain:
1.
Diharapkan makalah ini dijadikan sebagai
bahan kajian lebih lanjut.
2.
Dengan makalah ini dimaksudkan untuk
dapat memberi pemahaman Citra Politik, Partisipasi Politik& Pendapat umum,
Pemilihan Umum dan Kebijakan Publik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. CITRA POLITIK
Salah
satu tujuan komunikasi politik adalah menciptakan, membangun, dan memperkuat
citra (image) politik di tengah masyarakat, khususnya pemilih. Citra politik
juga dapat melemah, luntur dan hilang dalam sistem kognitif masyarakat. Citra
politik memiliki kekuatan untuk memotivasi aktor atau individu untuk melakukan
suatu hal. Citra politik tersebut terbentuk berdasarkan informasi yang diterima
masyarakat, baik langsung maupun melalui media massa. Citra politik berkaitan
dengan pembentukan pendapat umum karena pada dasarnya pendapat umum politik
terbangun melalui citra politik. Sedangkan citra politik terwujud sebagai
konsekuensi kognitif dari komunikasi politik.
Citra
politik menurut Cangara (2007) adalah idenditas politik, yang merupakan
visualisasi dari atribut yang diberikan dan dipersepsikan oleh pihak luar
tentang seorang kandidat maupun partai politik. Citra politik dalam hal ini
bisa berupa reputasi dan kredibilitas seorang kandidat maupun partai politik
yang dipersepsikan oleh masyarakat luas. Semakin baik reputasi dan kredibilitas
seorang kandidat maupun partai politik, maka akan semakin besar peluang untuk
dipilih masyarakat dalam pemilihan umum.
Para
politikus sangat berkepentingan dalam menciptakan, membangun, dan memperkuat
citra politik positif mereka melalui komunikasi. Citra politik yang positif
dari suatu partai politik maupun kandidat akan memberikan efek yang positif
pula terhadap pemilih guna memberikan suaranya dalam pemilihan umum.
Dengan
demikian, citra politik seseorang akan membantu dalam pemahaman, penilaian dan
pengidentifikasian peristiwa, gagasan, tujuan atau pemimpin politik. Citra
politik juga membantu bagi seseorang dalam memberikan alasan yang dapat
diterima secara subyektif tentang mengapa segala sesuatu hadir sebagaimana tampaknya
tentang referensi politik. Citra politik akan menjadi perhatian penting jika
seseorang menganggap bahwa dalam memenuhi kebutuhan fisik, sosial dan
psikologis hanya dapat diatasi dan dilakukan oleh negara. Orang bertukar citra
politik melalui komunikasi politik sebagai cara untuk menyelesaikan konflik dan
mencari konsensus dalam upaya manusia dan masyarakat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasarnya.
Komunikasi
politik dalam prakteknya sering kali memainkan peran ganda kaitannya dengan
citra politik. Disatu sisi untuk membangun citra politik positif bagi, disisi
lain dilakukan untuk menghancurkan citra lawan politik. Hal tersebut dilakukan
dengan asumsi bahwa kehancuran citra suatu lawan politik berarti suatu
keuntungan bagi seseorang politikus (kandidat) maupun partai politik untuk
membangun citra politiknya dan mendapat dukungan politik dari masyarakat.
B. PARTISIPASI POLITIK & PENDAPAT
UMUM
1. PARTISIPASI POLITIK
Partisipasi
politik dipahami sebagai kegiatan sukarela (tanpa paksaan) warga negara dalam
proses politik. Seorang tokoh partisipasi Herbet McClosky mengungkapkan
pengertian Partisipasi politik, sebagai berikut : Partisipasi politik adalah
kegiatan sukarela dari warga negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam
proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam
proses pembentukan kebijakan umum (The term political participation will refer
to those voluntary activities by which members of society share in the
selection of rulers and, directly, in the formation of public policy).
Samuel
P. Huntington dan Joan M. Nelson memberi definisi lebih luas dengan memasukkan
secara eksplisit tindakan ilegal dan kekerasan. Partisipasi politik adalah
kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud
untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa
bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau
sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau
tidak efektif. (By political participation we mean activity by private citizens
designed to influence goverment decision making. Participation may be
individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic,
peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective).
Prof.
Miriam Budiardjo mengungkapkan definisi secara umum partisipasi politik, adalah
kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara
langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan
tersebut tersebut mencakup tindakan seperti pemberian suara dalam pemilihan
umum, menghadiri kampanye politik, mengadakan hubungan atau lobbying dengan
pejabat pemerintah atau anggota legislatif, menjadi anggota partai politik,
demonstasi, dan sebagainya.
Dari
sekian banyak pengertian yang disampaikan oleh banyak orang maupun para pakar
tentang pendapat umum, setidaknya definisi yang diungkapkan Hafied Cangara di
bawah ini dapat mewakili dan memberikan pemahaman konferhensif tentang pendapat
umum. Pendapat umum ialah gabungan pendapat perseorangan mengenai suatu isu
yang dapat mempengaruhi orang lain, serta memungkinkan seseorang dapat
mempengaruhi pendapat-pendapat tersebut. Ini berarti pendapat umum hanya bisa
terbentuk kalau menjadi pembicaraan umum, atau jika banyak orang penting (elit)
mengemukakan pendapat mereka tentang suatu isu sehingga bisa menimbulkan pro
dan kontra di kalangan anggota masyarakat.
Dalam
hal ini, media massa sebagai saluran komunikasi politik memiliki peranan yang
cukup signifikan untuk membentuk pendapat umum di tengah-tengah masyarakat
sehingga banyak politisi yang memanfaatkan media massa untuk membentuk, membina
serta mempertahankan pendapat umum (opini public). Kehadiran media massa pada
masyarakat yang berkembang termasuk Indonesia mempunyai arti yang sangat
penting, dan diyakini sebagai salah satu pilar demokrasi. Media massa telah
menjadikan jarak psikologis dan jarak geografis semakin kecil dan sempit, dan
kejadian diberbagai tempat diketahui secara cepat dengan adanya media massa,
seperti radio, televisi, surat kabar dan sebagainya.
Kegiatan
partisipasi politik pada intinya tertuju kepada dua subjek yaitu:
a.
Pemilihan penguasa
b.
Melaksanakan segala kebijaksanaan
penguasa (pemerintah)
Hakikat
Pendapat Umum
Menurut
beberapa pakar seperti Ogburn dan Ninkoff, semua golongan yang tersusun baik
organisasi kerjanya mutlak harus memperoleh dukungan kuat pendapat umum atau
pendapat umum tidak menentangnya memperoleh kekuasaan.
Sebagai
kekuatan politik, pendapat umum tidak hanya mampu mendukung suatu pemerintahan
atau kekuasaan melainkan juga memiliki kekuatan untuk menggulingkannya baik
melalui cara yang konstitusional maupun melalui aksi-aksi masa ataupun
keduanya. Maka dari itu sangat penting bagi penguasa untuk memelihara dan
membina pendapat umum dengan baik melalui komunikasi politik yang intensif,
persuasive, ataupun informative, edukatif dan koersif.
Pendapat
umum memiliki tiga unsur:
·
Isu yang aktual
·
Sejumlah orang yang mendiskusikan isu
tersebut
·
Isu tersebut diekspresikan baik melalui
tulisan, lisan ataupun gerak-gerik.
Pendapat
umum hanya dapat berkembang di negara-negara yang demokratis karena negara yang
demikian akan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengeluarkan
pendapat baik secara lisan maupun tulisan.
Karakteristik
Pendapat Umum
Pendapat
umum memiliki beberapa cirri-ciri tertentu, seperti:
·
Terdapat isi, arah, dan intensitas
mengenai pendapat umum.
·
Dibuat berdasarkan fakta, bukan kata-kata.
·
Kontroversi menandai pendapat umum; maksudnya
sesuatu yang tidak disepakati oleh seluruh rakyat.
·
Mempunyai volume berdasarkan kenyataan
bahwa kontroversi itu menyentuh semua orang yang merasakan konsekuensi langsung
dan tidak langsung.
·
Relatif tetap. Maksudnya adalah pendapat
umum ini tidak dapat dikatakan berapa lama akan bertahan namun biasanya sering
bertahan agak lama.
·
Penampilannya pluralis
Selain
itu pendapat umum dapat dibagi menjadi dua yaitu pendapat umum laten dan
pendapat umum aktual. Pendapat umum laten ialah pendapat umum yang tersembunyi,
namun sangat potensial, karena dalam masa tertentu dapat menjadi riil dan
aktual sehingga perlu diperhatikan. Sedangkan pendapat umum aktual ialah
pendapat umum yang sudah nyata karena dinyatakan secara terbuka dan ditanggapi
serta berpengaruh secara luas.
Proses
terbentuknya pendapat umum menurut Cutlip dan Center ada empat tahapan:
ü Ada
masalah yang perlu dipecahkan sehingga orang mencari alternatif pemecahan.
ü Munculnya
beberapa alternatif memungkinkan terjadinya diskusi untuk memilif alternatif.
ü Dalam
diskusi diambil keputusan yang melahirkan kesadaran kelompok.
ü Untuk
melaksanakan keputusan, disusunlah program yang memerlukan dukungan yang lebih
luas.
Menurut
Erikson, Lutberg, dan Tedin ada empat tahapa proses terbentuknya pendapat umum:
Ø Muncul
isu yang dirasakan sangat relevan bagi kehidupan orang banyak.
Ø Isu
tersebut relative baru sehingga menimbulkan kekaburan standar penilaian atau
standar ganda.
Ø Adanya
tokoh pembentuk opini (opinion leader) yang tertarik dengan isu tersebut.
Ø Mendapat
perhatian pers sehingga informasi dan reaksi terhadap isu tersebut dapat
diketahui oleh khalayak.
Dalam
proses terbentuknya pendapat umum tidak hanya berlangsung proses komunikasi
massa melainkan juga proses komunikasi antarpribadi.
Mengendalikan
Pendapat Umum
Pendapat
umum yang sehat hanya dapat tumbuh di dalam masyarakat yang mempunyai kebebasan
berpikir dan mengeluarkan pendapat serta kebebasan pers. Selain itu juga
penting minat yang cukup besar dari rakyat terhadap soal-soal pemerintahan dan
negara, adanya pendidikan politik yang cukup tinggi bagi rakyat, dan adanya
kesediaan masyarakat dalam untuk mengutamakan kepentingan bersama.
Pendapat
umum juga dapat tumbuh dengan baik jika tersedia media massa dan media lainnya
yang sehat dan objektif, dan adanya organisasi politik seperti partai politik,
lembaga parlemen, danlembaga peradilan dan birokrasi yang sudah mapan dan
berwibawa. Selain itu juga harus ada organisasi non politik seperti lembaga
sosial, lembaga pendidikan dan sebagainya.
Organisasi
politik atau lembaga apapun dapat melakukan pengendalian pendapat umum. Menurut
James B. Orrick, faktor pertama yaitu, jangan berdebat, karena perdebatan dapat
memancing emosi dan antagonisme. Faktor kedua, kemukakan fakta-fakta. Hal ini
akan lebih efektif daripada analisis-analisis yang abstrak dan menghindarkan
dari perdebatan. Faktor ketiga, ungkapkan pernyataan-pernyataan yang positif.
Pernyataan-pernyataan yang positif dan menyentuh kepentingan dan kebutuhan
public yang dikemukakan secara berulang-ulang
dan secara psikologis akan mempengaruhi pendapat public.
Jadi,
untuk mengendalikan pendapat umum atau menciptakan pendapat umum yang baik,
harus dilakukan komunikasi yang efektif. Komunikasi politik yang efektif dapat
dilakukan dengan cara:
v Mengenal
khalayak yang akan dijadikan sasaran
v Merencanakan
pesan yang ingin disampaikan
v Memilih
metode penyampaian yang tepat
v Menyeleksi
media yang sesuai dengan keadaan dan lokasi khalayak
v Memilih
komunikator yang terpercaya bagi khalayak
C. PEMILU
Pemilihan
Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang
untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini
beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat
pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat
juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua
kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Dalam
Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah
para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa
kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari
pemungutan suara.
Setelah
pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu
ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya
telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para
pemilih.
Umumnya
ada dua system pelaksanaan pemilihan umum yang dipakai, yaitu sebagai berikut:
1.
Sistem Distrik
Sistem
ini diselenggarakan berdasarkan lokasi daerah pemilihan, dalam arti tidak
membedakan jumlah penduduk, tetapi tempat yang sudah ditentukan. Jadi daerah
yang sedikit penduduknya memiliki wakil yang sama dengan daerah yang padat
penduduknya. Oleh karena itu sudah barang tentu banyak jumlah suara yang akan
terbuang di satu pihak tetapi malahan menguntungkan pihak yang renggang penduduknya.
Tetapi karena wakil yang akan dipilih adalah orangnya langsung, maka pemilih
akrab dengan wakilnya (personal stelsel). Satu distrik biasanya satu wakil
(single member constituency).
Kelebihan
sistem distrik :
a.
Karena kecil atau tidak terlalu besarnya
distrik maka biasanya ada hubungan atau kedekatan antara kandidat dengan
masyarakat di distrik tersebut. Kandidat mengenal masyarakat serta kepentingan
yang mereka butuhkan.
b.
Sistem ini akan mendorong partai politik
untuk melakukan penyeleksian yang lebih ketat dan kompetitif terhadap calon
yang akan diajukan untuk menjadi kandidat dalam pemilihan.
c.
Karena perolehan suara partai-partai
kecil tidak diperhitungkan, maka secara tidak langsung akan terjadi penyederhanaan
partai politik. Sistem dwipartai akan lebih berkembang dan pemerintahan dapat
berjalan dengan lebih satbil.
Kekurangan
sistem distrik :
a.
Sistem ini kurang representatif karena
perolehan suara kandidat yang kalah tidak diperhitungkan sama sekali atau suara
tersebut dianggap hilang.
b.
Partai-partai kecil atau
golongan/kelompok minoritas/termarjinalkan yang memperoleh suara yang lebih
sedikit tidak sksn terwakili (tidak memiliki wakil) karena suara mereka tidak
diperhitungkan. Dalam hal ini, kaum perempuan memiliki peluang yang kecil untuk
bersaing mengingat terbatasnya kursi yang diperebutkan.
c.
Wakil rakyat terpilih akan cenderung
lebih memperhatikan rakyat di distriknya dibandingkan dengan distrik-distrik
lain.
2.
Sistem Proporsional
Sistem
ini didasari jumlah penduduk yang akan menjadi peserta pemilih, misalnya setiap
40.000 penduduk pemilih memperoleh satu wakil (suara berimbang), sedangkan yang
dipilih adalah kelompok orang yang diajukan kontestan pemilu, yaitu para partai
politik (multi member constituency) yang dikenal lewat tanda gambar (lijsten
stelsel), sehingga wakil dan pemilih kurang akrab.
Hal
ini cukup adil dalam keseimbangan jumlah, bahkan sisa suara dapat digabung
secara nasional untuk kursi tamabahan, dengan demikian partai kecil dapat
dihargai tanpa harus beraliansi, karena suara pemilih dihargai. Tetapi
resikonya banyak wakil setoran dari pemerintah pusat karena adakalanya salah
satu jumlah yang memenuhi syarat tidak memiliki wakil yang tepat.
Kelebihan
sistem pemliu proporsional :
a.
Menyelamatkan suara masyarakat pemilih
dimana suara kandidat yang lebih kecil dari kandidat yang lain tetap akan
diperhitungkan sehingga sedikit suara yang hilang.
b.
Memungkinkan partai-partai yang
memperoleh suara atau dukungan yang lebih sedikit tetap memiliki wakil di
parlemen karena suara mereka tidak otomatis hilang atau tetap diperhitungkan.
c.
Memungkinkan terpilihnya perempuan
karena kursi yang diperebutkan dalam satu daerah pemilihan lebih dari satu.
Kekurangan
sisten pemilu proporsional :
a)
Sistem ini cenderung menyuburkan sistem
multipartai yang dapat mempersulit terwujudnya pemerintahan yang stabil.
b)
Biasanya antara pemilih dengan kandidat
tidak ada kedekatan secara emosional. Pemilih tidak atau kurang mengenal
kandidat, dan kandidat juga tidak mengenal karakteristik daerah pemilihannya,
masyarakat pemilih dan aspirasi serta kepentingan mereka. Kandidat lebih
memiliki keterikatan dengan partai politik sebagai saluran yang mengusulkan
mereka. Pada akhirnya nanti, kandidat yang terpilih mungkin tidak akan
memperjuangkan dengan gigih kepentingan pemilih karena tidak adanya kedekatan
emosional tadi.
Pemilihan
umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga
perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah
amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden
(pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung
oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres
sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu.
Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada
pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5
tahun sekali.
Pemilihan
umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari
"Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada
sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya
secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat
diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas
berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak
manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat
rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian
di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan
singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa
pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa
setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya
dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat
yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta
pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap
peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada
pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Sepanjang
sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 10 kali pemilu anggota lembaga
legislatif yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999,
2004, dan 2009.
1. Pemilu 1955
Pemilu
pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih
anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan
Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat
pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri
Burhanuddin Harahap.
Sesuai
tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
·
Tahap pertama adalah Pemilu untuk
memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955,
dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
·
Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih
anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima
besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul
Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
2. Pemilu 1971
Pemilu
berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 3 Juli 1971.
Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai
politik dan 1 organisasi masyarakat. Lima besar dalam Pemilu ini adalah
Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai
Syarikat Islam Indonesia.
Pada
tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya
dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi
Indonesia) dan satu Golongan Karya.
3. Pemilu 1977-1997
Pemilu-Pemilu
berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto.
Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru".
Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya
diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut
kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.
4. Pemilu 1999
Pemilu
berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu
1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah
pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Lima
besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar,
Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat
Nasional.
Walaupun
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan
suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari
partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan
Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon
presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya
bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan
presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
5. Pemilu 2004
Pada
Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan
baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.
Pemilu
2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung
presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo
Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak
ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran
kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara
Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf
Kalla.
Pergantian
kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum
pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada
pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan
Yudhoyono sebagai presiden.
6. Pemilu 2009
Pilpres
2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan
memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo
Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.
D. KEBIJAKAN PUBLIK
Dari
berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan
Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur
kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya.
Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang
dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai
tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).
Aturan
atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik,
jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak
hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika
suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka
formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan
disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan
publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi
Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden
termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum
yang harus ditaati.
Sementara
itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala
sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu
kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus
menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat
yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan
persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada
yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan
suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4).
Untuk
memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public
actor, terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk
mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada
kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001:
371 – 372): Bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi
sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat
strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.
Demikian
pula berkaitan dengan kata kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha 2003:
492-499) bahwa kata kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang
mempunyai arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi actor dan
lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat.
Dengan
demikian yang dimaksud kebijakan dalam Kybernology adalah sistem nilai
kebijakan dan kebijaksanaan yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang
bersangkutan. Selanjutnya kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam
dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan. Dalam merumuskan
kebijakan Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan antara lain menjadi: model
kelembagaan, model elit, model kelompok, model rasional, model inkremental,
model teori permainan, dan model pilihan publik, dan model sistem.
Selanjutnya
tercatat tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model pengamatan
terpadu, model demokratis, dan model strategis. Terkait dengan organisasi,
kebijakan menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of Management adalah
suatu pedoman yang menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang memberikan suatu
batas umum dan arah sasaran tindakan yang akan dilakukan pemimpin (Terry,
1964:278).
Kebijakan
secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat
dibedakan dalam tiga tingkatan:
1.
Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang
menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun
yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang
bersangkutan.
2.
Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan
yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah
tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
3.
Kebijakan teknis, kebijakan operasional
yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.
Terkait
dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding
Public Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3) “Kebijakan
publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka
melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil”.
Sedangkan
menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US,
(Said Zainal Abidin,2004: 23) kebijakan publik biasanya tidak bersifat spesifik
dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata strategis. Sebab itu kebijakan
publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan keputusan-keputusan
khusus di bawahnya.
Selanjutnya
kebijakan publik tersebut setelah melalui analisa yang mendalam dan dirumuskan
dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan publik. Dalam merumuskan kebijakan
publik Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan yaitu:
·
Model Kelembagaan;
·
Model Elit;
·
Model Kelompok;
·
Model Rasional;
·
Model Inkremental;
·
Model Teori Permainan;
·
Model Pilihan Publik;
·
Model Sistem
Selain
itu ada tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu:
ü Model
Pengamatan Terpadu;
ü Model
Demokratis;
ü Model
Strategis
Kebijakan
publik dalam praktik ketatanegaraan dan kepemerintahan pada dasarnya terbagi
dalam tiga prinsip yaitu: pertama, dalam konteks bagaimana merumuskan kebijakan
publik (Formulasi kebijakan); kedua, bagaimana kebijakan publik tersebut
diimplementasikan dan ketiga, bagaimana kebijakan publik tersebut dievaluasi
(Nugroho 2004,100-105)
Tahap-tahap
kebijakan publik menurut William Dunn. adalah sebagai berikut:
1.
Penyusunan Agenda
Agenda
setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas
kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang
disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik
dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah
publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Dalam
agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan
diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering
disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya
muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah
tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai
karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan
merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan,
rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak
semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.
Ada
beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber,
1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986)[2] diantaranya:
a)
telah mencapai titik kritis tertentu à
jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius;
b)
telah mencapai tingkat partikularitas
tertentu à berdampak dramatis;
c)
menyangkut emosi tertentu dari sudut
kepent. orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa;
d)
menjangkau dampak yang amat luas ;
e)
mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan
dalam masyarakat ;
f)
menyangkut suatu persoalan yang
fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)
Karakteristik
: Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda
publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda
untuk waktu lama.
Ilustrasi
: Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang
mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan
disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.
Penyusunan
agenda kebijakan sebaiknya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi
kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh
mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
2.
Formulasi kebijakan
Masalah
yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat
kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan
masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu
masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan
masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang
diambil untuk memecahkan masalah.
3.
Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan
legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan.
Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat,
warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya
bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung
berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah
yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat
dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini
orang belajar untuk mendukung pemerintah.
4.
Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara
umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut
estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan
dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional.
Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja,
melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi
kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan,
program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi,
maupun tahap dampak kebijakan.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1.
Citra politik menurut Cangara (2007)
adalah idenditas politik, yang merupakan visualisasi dari atribut yang
diberikan dan dipersepsikan oleh pihak luar tentang seorang kandidat maupun
partai politik. Citra politik dalam hal ini bisa berupa reputasi dan
kredibilitas seorang kandidat maupun partai politik yang dipersepsikan oleh
masyarakat luas. Semakin baik reputasi dan kredibilitas seorang kandidat maupun
partai politik, maka akan semakin besar peluang untuk dipilih masyarakat dalam
pemilihan umum.
2.
Partisipasi politik dipahami sebagai
kegiatan sukarela (tanpa paksaan) warga negara dalam proses politik. Seorang
tokoh partisipasi Herbet McClosky mengungkapkan pengertian Partisipasi politik,
sebagai berikut : Partisipasi politik adalah kegiatan sukarela dari warga
negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa,
dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan
umum (The term political participation will refer to those voluntary activities
by which members of society share in the selection of rulers and, directly, in
the formation of public policy).
3.
Pendapat umum ialah gabungan pendapat
perseorangan mengenai suatu isu yang dapat mempengaruhi orang lain, serta
memungkinkan seseorang dapat mempengaruhi pendapat-pendapat tersebut. Ini
berarti pendapat umum hanya bisa terbentuk kalau menjadi pembicaraan umum, atau
jika banyak orang penting (elit) mengemukakan pendapat mereka tentang suatu isu
sehingga bisa menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota masyarakat.
4.
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu
proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan
politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari
Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.
Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi
jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata
'pemilihan' lebih sering digunakan.
5.
Dari berbagai kepustakaan dapat
diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut
sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang
harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan
diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi
dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan
sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).
B. Saran-saran
Makalah
ini tentunya msih jauh dari nilai kesempurnaan, karena di buat hanya sebatas
khazanah pengetahuan kami itu pun denga referensi yang masih sangat minim. Oleh
karena itu kritk dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
a
b William Dunn. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, 1998, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. Hal: 24
2.
Kebijakan Publik: teori dan Proses.
Jakarta: PT Buku Kita. Hlm 33.
3.
William N Dunn.1998. Pengantar Analisis
Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press)
4.
Sumber buku Analisis Kebijakan Publik
karya Liesty Referensi
5.
Arifin, Anwar, 2003. Komunikasi Politik.
Jakarta: PT. Balai Pustaka
6.
Nimmo, Dan, 2001. Komunikasi
PolitikKhalayak dan Efek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
7.
Rochajat Harun, Ir., MED., PhD dan
Sumarno., Drs.,S.H.2006. Komunikasi Politik Sebagai Suatu Pengantar. Bandung:
CV. Mandar Maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar