Senin, 23 April 2012


CITRA POLITIK, PARTISIPASI POLITIK & PENDAPAT UMUM
PEMILIHAN UMUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Komunikasi Politik
Oleh:
Sri Rosmayanti 


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah politik. Akan tetapi publik cenderung buruk dalam memaknainya. Politik mengalami degradasi moral dibandingkan dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya. Politik dikaitkan dengan strategi tipu muslihat untuk meraih kekuasaan atau Sesuatu yang berhubungan dengan penggulingan kekuasaan atau kudeta. Begitu buruknya citra politik di mata publik seolah publik menjauhi persoalan apapun yang berkaitan dengan politik.
Dalam makalah ini kami akan mencoba membahas tentang Citra Politik, Partisipasi Masyarakat& Pendapat Umum, Pemilihan Umum, dan kebijakan Publik, akan tetapi sebelumnya kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan Politik itu sendiri.
Berikut adalah definisi Politik Menurut salah seorang ahli:
Menurut Carl Schmidt
Politik adalah suatu dunia yang didalamnya orang-orang lebih membuat keputusan - keputusan daripada lembaga-lembaga abstrak.
B.     Rumusan Maslah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis dapat  mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan Citra Politik?
2.      Mengetahui apa yang dimaskud dengan Partisipasi Politi & Pendapat Umum?
3.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan Pemilihan umum dan Sejarahnya?
4.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan Kebijakan Publik dan cara penyusunannya?

C.    Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat dari penyusunan makalah ini, antara lain:
1.      Diharapkan makalah ini dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut.
2.      Dengan makalah ini dimaksudkan untuk dapat memberi pemahaman Citra Politik, Partisipasi Politik& Pendapat umum, Pemilihan Umum dan Kebijakan Publik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    CITRA POLITIK
Salah satu tujuan komunikasi politik adalah menciptakan, membangun, dan memperkuat citra (image) politik di tengah masyarakat, khususnya pemilih. Citra politik juga dapat melemah, luntur dan hilang dalam sistem kognitif masyarakat. Citra politik memiliki kekuatan untuk memotivasi aktor atau individu untuk melakukan suatu hal. Citra politik tersebut terbentuk berdasarkan informasi yang diterima masyarakat, baik langsung maupun melalui media massa. Citra politik berkaitan dengan pembentukan pendapat umum karena pada dasarnya pendapat umum politik terbangun melalui citra politik. Sedangkan citra politik terwujud sebagai konsekuensi kognitif dari komunikasi politik.
Citra politik menurut Cangara (2007) adalah idenditas politik, yang merupakan visualisasi dari atribut yang diberikan dan dipersepsikan oleh pihak luar tentang seorang kandidat maupun partai politik. Citra politik dalam hal ini bisa berupa reputasi dan kredibilitas seorang kandidat maupun partai politik yang dipersepsikan oleh masyarakat luas. Semakin baik reputasi dan kredibilitas seorang kandidat maupun partai politik, maka akan semakin besar peluang untuk dipilih masyarakat dalam pemilihan umum.
Para politikus sangat berkepentingan dalam menciptakan, membangun, dan memperkuat citra politik positif mereka melalui komunikasi. Citra politik yang positif dari suatu partai politik maupun kandidat akan memberikan efek yang positif pula terhadap pemilih guna memberikan suaranya dalam pemilihan umum.
Dengan demikian, citra politik seseorang akan membantu dalam pemahaman, penilaian dan pengidentifikasian peristiwa, gagasan, tujuan atau pemimpin politik. Citra politik juga membantu bagi seseorang dalam memberikan alasan yang dapat diterima secara subyektif tentang mengapa segala sesuatu hadir sebagaimana tampaknya tentang referensi politik. Citra politik akan menjadi perhatian penting jika seseorang menganggap bahwa dalam memenuhi kebutuhan fisik, sosial dan psikologis hanya dapat diatasi dan dilakukan oleh negara. Orang bertukar citra politik melalui komunikasi politik sebagai cara untuk menyelesaikan konflik dan mencari konsensus dalam upaya manusia dan masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya.
Komunikasi politik dalam prakteknya sering kali memainkan peran ganda kaitannya dengan citra politik. Disatu sisi untuk membangun citra politik positif bagi, disisi lain dilakukan untuk menghancurkan citra lawan politik. Hal tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa kehancuran citra suatu lawan politik berarti suatu keuntungan bagi seseorang politikus (kandidat) maupun partai politik untuk membangun citra politiknya dan mendapat dukungan politik dari masyarakat.
B.     PARTISIPASI POLITIK & PENDAPAT UMUM
1.      PARTISIPASI POLITIK
Partisipasi politik dipahami sebagai kegiatan sukarela (tanpa paksaan) warga negara dalam proses politik. Seorang tokoh partisipasi Herbet McClosky mengungkapkan pengertian Partisipasi politik, sebagai berikut : Partisipasi politik adalah kegiatan sukarela dari warga negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum (The term political participation will refer to those voluntary activities by which members of society share in the selection of rulers and, directly, in the formation of public policy).
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson memberi definisi lebih luas dengan memasukkan secara eksplisit tindakan ilegal dan kekerasan. Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. (By political participation we mean activity by private citizens designed to influence goverment decision making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective).
Prof. Miriam Budiardjo mengungkapkan definisi secara umum partisipasi politik, adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan tersebut tersebut mencakup tindakan seperti pemberian suara dalam pemilihan umum, menghadiri kampanye politik, mengadakan hubungan atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota legislatif, menjadi anggota partai politik, demonstasi, dan sebagainya.
Dari sekian banyak pengertian yang disampaikan oleh banyak orang maupun para pakar tentang pendapat umum, setidaknya definisi yang diungkapkan Hafied Cangara di bawah ini dapat mewakili dan memberikan pemahaman konferhensif tentang pendapat umum. Pendapat umum ialah gabungan pendapat perseorangan mengenai suatu isu yang dapat mempengaruhi orang lain, serta memungkinkan seseorang dapat mempengaruhi pendapat-pendapat tersebut. Ini berarti pendapat umum hanya bisa terbentuk kalau menjadi pembicaraan umum, atau jika banyak orang penting (elit) mengemukakan pendapat mereka tentang suatu isu sehingga bisa menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota masyarakat.
Dalam hal ini, media massa sebagai saluran komunikasi politik memiliki peranan yang cukup signifikan untuk membentuk pendapat umum di tengah-tengah masyarakat sehingga banyak politisi yang memanfaatkan media massa untuk membentuk, membina serta mempertahankan pendapat umum (opini public). Kehadiran media massa pada masyarakat yang berkembang termasuk Indonesia mempunyai arti yang sangat penting, dan diyakini sebagai salah satu pilar demokrasi. Media massa telah menjadikan jarak psikologis dan jarak geografis semakin kecil dan sempit, dan kejadian diberbagai tempat diketahui secara cepat dengan adanya media massa, seperti radio, televisi, surat kabar dan sebagainya.
Kegiatan partisipasi politik pada intinya tertuju kepada dua subjek yaitu:
a.       Pemilihan penguasa
b.      Melaksanakan segala kebijaksanaan penguasa (pemerintah)
Hakikat Pendapat Umum
Menurut beberapa pakar seperti Ogburn dan Ninkoff, semua golongan yang tersusun baik organisasi kerjanya mutlak harus memperoleh dukungan kuat pendapat umum atau pendapat umum tidak menentangnya memperoleh kekuasaan.
Sebagai kekuatan politik, pendapat umum tidak hanya mampu mendukung suatu pemerintahan atau kekuasaan melainkan juga memiliki kekuatan untuk menggulingkannya baik melalui cara yang konstitusional maupun melalui aksi-aksi masa ataupun keduanya. Maka dari itu sangat penting bagi penguasa untuk memelihara dan membina pendapat umum dengan baik melalui komunikasi politik yang intensif, persuasive, ataupun informative, edukatif dan koersif.

Pendapat umum memiliki tiga unsur:
·         Isu yang aktual
·         Sejumlah orang yang mendiskusikan isu tersebut
·         Isu tersebut diekspresikan baik melalui tulisan, lisan ataupun gerak-gerik.
Pendapat umum hanya dapat berkembang di negara-negara yang demokratis karena negara yang demikian akan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan.
Karakteristik Pendapat Umum
Pendapat umum memiliki beberapa cirri-ciri tertentu, seperti:
·         Terdapat isi, arah, dan intensitas mengenai pendapat umum.
·          Dibuat berdasarkan fakta, bukan kata-kata.
·         Kontroversi menandai pendapat umum; maksudnya sesuatu yang tidak disepakati oleh seluruh rakyat.
·         Mempunyai volume berdasarkan kenyataan bahwa kontroversi itu menyentuh semua orang yang merasakan konsekuensi langsung dan tidak langsung.
·         Relatif tetap. Maksudnya adalah pendapat umum ini tidak dapat dikatakan berapa lama akan bertahan namun biasanya sering bertahan agak lama.
·          Penampilannya pluralis
Selain itu pendapat umum dapat dibagi menjadi dua yaitu pendapat umum laten dan pendapat umum aktual. Pendapat umum laten ialah pendapat umum yang tersembunyi, namun sangat potensial, karena dalam masa tertentu dapat menjadi riil dan aktual sehingga perlu diperhatikan. Sedangkan pendapat umum aktual ialah pendapat umum yang sudah nyata karena dinyatakan secara terbuka dan ditanggapi serta berpengaruh secara luas.
Proses terbentuknya pendapat umum menurut Cutlip dan Center ada empat tahapan:
ü  Ada masalah yang perlu dipecahkan sehingga orang mencari alternatif pemecahan.
ü  Munculnya beberapa alternatif memungkinkan terjadinya diskusi untuk memilif alternatif.
ü  Dalam diskusi diambil keputusan yang melahirkan kesadaran kelompok.
ü  Untuk melaksanakan keputusan, disusunlah program yang memerlukan dukungan yang lebih luas.
Menurut Erikson, Lutberg, dan Tedin ada empat tahapa proses terbentuknya pendapat umum:
Ø  Muncul isu yang dirasakan sangat relevan bagi kehidupan orang banyak.
Ø  Isu tersebut relative baru sehingga menimbulkan kekaburan standar penilaian atau standar ganda.
Ø  Adanya tokoh pembentuk opini (opinion leader) yang tertarik dengan isu tersebut.
Ø  Mendapat perhatian pers sehingga informasi dan reaksi terhadap isu tersebut dapat diketahui oleh khalayak.
Dalam proses terbentuknya pendapat umum tidak hanya berlangsung proses komunikasi massa melainkan juga proses komunikasi antarpribadi.
Mengendalikan Pendapat Umum
Pendapat umum yang sehat hanya dapat tumbuh di dalam masyarakat yang mempunyai kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat serta kebebasan pers. Selain itu juga penting minat yang cukup besar dari rakyat terhadap soal-soal pemerintahan dan negara, adanya pendidikan politik yang cukup tinggi bagi rakyat, dan adanya kesediaan masyarakat dalam untuk mengutamakan kepentingan bersama.
Pendapat umum juga dapat tumbuh dengan baik jika tersedia media massa dan media lainnya yang sehat dan objektif, dan adanya organisasi politik seperti partai politik, lembaga parlemen, danlembaga peradilan dan birokrasi yang sudah mapan dan berwibawa. Selain itu juga harus ada organisasi non politik seperti lembaga sosial, lembaga pendidikan dan sebagainya.
Organisasi politik atau lembaga apapun dapat melakukan pengendalian pendapat umum. Menurut James B. Orrick, faktor pertama yaitu, jangan berdebat, karena perdebatan dapat memancing emosi dan antagonisme. Faktor kedua, kemukakan fakta-fakta. Hal ini akan lebih efektif daripada analisis-analisis yang abstrak dan menghindarkan dari perdebatan. Faktor ketiga, ungkapkan pernyataan-pernyataan yang positif. Pernyataan-pernyataan yang positif dan menyentuh kepentingan dan kebutuhan public yang dikemukakan secara berulang-ulang  dan secara psikologis akan mempengaruhi pendapat public.
Jadi, untuk mengendalikan pendapat umum atau menciptakan pendapat umum yang baik, harus dilakukan komunikasi yang efektif. Komunikasi politik yang efektif dapat dilakukan dengan cara:
v  Mengenal khalayak yang akan dijadikan sasaran
v  Merencanakan pesan yang ingin disampaikan
v  Memilih metode penyampaian yang tepat
v  Menyeleksi media yang sesuai dengan keadaan dan lokasi khalayak
v  Memilih komunikator yang terpercaya bagi khalayak
C.    PEMILU
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.
Umumnya ada dua system pelaksanaan pemilihan umum yang dipakai, yaitu sebagai berikut:
1. Sistem Distrik
Sistem ini diselenggarakan berdasarkan lokasi daerah pemilihan, dalam arti tidak membedakan jumlah penduduk, tetapi tempat yang sudah ditentukan. Jadi daerah yang sedikit penduduknya memiliki wakil yang sama dengan daerah yang padat penduduknya. Oleh karena itu sudah barang tentu banyak jumlah suara yang akan terbuang di satu pihak tetapi malahan menguntungkan pihak yang renggang penduduknya. Tetapi karena wakil yang akan dipilih adalah orangnya langsung, maka pemilih akrab dengan wakilnya (personal stelsel). Satu distrik biasanya satu wakil (single member constituency).
Kelebihan sistem distrik :
a.       Karena kecil atau tidak terlalu besarnya distrik maka biasanya ada hubungan atau kedekatan antara kandidat dengan masyarakat di distrik tersebut. Kandidat mengenal masyarakat serta kepentingan yang mereka butuhkan.
b.      Sistem ini akan mendorong partai politik untuk melakukan penyeleksian yang lebih ketat dan kompetitif terhadap calon yang akan diajukan untuk menjadi kandidat dalam pemilihan.
c.       Karena perolehan suara partai-partai kecil tidak diperhitungkan, maka secara tidak langsung akan terjadi penyederhanaan partai politik. Sistem dwipartai akan lebih berkembang dan pemerintahan dapat berjalan dengan lebih satbil.
Kekurangan sistem distrik :
a.       Sistem ini kurang representatif karena perolehan suara kandidat yang kalah tidak diperhitungkan sama sekali atau suara tersebut dianggap hilang.
b.      Partai-partai kecil atau golongan/kelompok minoritas/termarjinalkan yang memperoleh suara yang lebih sedikit tidak sksn terwakili (tidak memiliki wakil) karena suara mereka tidak diperhitungkan. Dalam hal ini, kaum perempuan memiliki peluang yang kecil untuk bersaing mengingat terbatasnya kursi yang diperebutkan.
c.       Wakil rakyat terpilih akan cenderung lebih memperhatikan rakyat di distriknya dibandingkan dengan distrik-distrik lain.
2. Sistem Proporsional
Sistem ini didasari jumlah penduduk yang akan menjadi peserta pemilih, misalnya setiap 40.000 penduduk pemilih memperoleh satu wakil (suara berimbang), sedangkan yang dipilih adalah kelompok orang yang diajukan kontestan pemilu, yaitu para partai politik (multi member constituency) yang dikenal lewat tanda gambar (lijsten stelsel), sehingga wakil dan pemilih kurang akrab.
Hal ini cukup adil dalam keseimbangan jumlah, bahkan sisa suara dapat digabung secara nasional untuk kursi tamabahan, dengan demikian partai kecil dapat dihargai tanpa harus beraliansi, karena suara pemilih dihargai. Tetapi resikonya banyak wakil setoran dari pemerintah pusat karena adakalanya salah satu jumlah yang memenuhi syarat tidak memiliki wakil yang tepat.
Kelebihan sistem pemliu proporsional :
a.       Menyelamatkan suara masyarakat pemilih dimana suara kandidat yang lebih kecil dari kandidat yang lain tetap akan diperhitungkan sehingga sedikit suara yang hilang.
b.      Memungkinkan partai-partai yang memperoleh suara atau dukungan yang lebih sedikit tetap memiliki wakil di parlemen karena suara mereka tidak otomatis hilang atau tetap diperhitungkan.
c.       Memungkinkan terpilihnya perempuan karena kursi yang diperebutkan dalam satu daerah pemilihan lebih dari satu.
Kekurangan sisten pemilu proporsional :
a)       Sistem ini cenderung menyuburkan sistem multipartai yang dapat mempersulit terwujudnya pemerintahan yang stabil.
b)      Biasanya antara pemilih dengan kandidat tidak ada kedekatan secara emosional. Pemilih tidak atau kurang mengenal kandidat, dan kandidat juga tidak mengenal karakteristik daerah pemilihannya, masyarakat pemilih dan aspirasi serta kepentingan mereka. Kandidat lebih memiliki keterikatan dengan partai politik sebagai saluran yang mengusulkan mereka. Pada akhirnya nanti, kandidat yang terpilih mungkin tidak akan memperjuangkan dengan gigih kepentingan pemilih karena tidak adanya kedekatan emosional tadi.
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Sepanjang sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 10 kali pemilu anggota lembaga legislatif yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009.
1.      Pemilu 1955
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
·         Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
·         Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
2.      Pemilu 1971
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.
3.      Pemilu 1977-1997
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.
4.      Pemilu 1999
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
5.      Pemilu 2004
Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden.
6.      Pemilu 2009
Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.
D.    KEBIJAKAN PUBLIK
Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).
Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.
Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4).
Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public actor, terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 – 372): Bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.
Demikian pula berkaitan dengan kata kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha 2003: 492-499) bahwa kata kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang mempunyai arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi actor dan lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat.
Dengan demikian yang dimaksud kebijakan dalam Kybernology adalah sistem nilai kebijakan dan kebijaksanaan yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan. Selanjutnya kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan antara lain menjadi: model kelembagaan, model elit, model kelompok, model rasional, model inkremental, model teori permainan, dan model pilihan publik, dan model sistem.
Selanjutnya tercatat tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model pengamatan terpadu, model demokratis, dan model strategis. Terkait dengan organisasi, kebijakan menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of Management adalah suatu pedoman yang menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang memberikan suatu batas umum dan arah sasaran tindakan yang akan dilakukan pemimpin (Terry, 1964:278).
Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:
1.      Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.
2.      Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
3.      Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.
Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding Public Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3) “Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil”.
Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US, (Said Zainal Abidin,2004: 23) kebijakan publik biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya.
Selanjutnya kebijakan publik tersebut setelah melalui analisa yang mendalam dan dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan publik. Dalam merumuskan kebijakan publik Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan yaitu:
·         Model Kelembagaan;
·         Model Elit;
·         Model Kelompok;
·         Model Rasional;
·         Model Inkremental;
·         Model Teori Permainan;
·         Model Pilihan Publik;
·         Model Sistem
Selain itu ada tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu:
ü  Model Pengamatan Terpadu;
ü  Model Demokratis;
ü  Model Strategis
Kebijakan publik dalam praktik ketatanegaraan dan kepemerintahan pada dasarnya terbagi dalam tiga prinsip yaitu: pertama, dalam konteks bagaimana merumuskan kebijakan publik (Formulasi kebijakan); kedua, bagaimana kebijakan publik tersebut diimplementasikan dan ketiga, bagaimana kebijakan publik tersebut dievaluasi (Nugroho 2004,100-105)
Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn. adalah sebagai berikut:
1.      Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.
Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986)[2] diantaranya:
a)      telah mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius;
b)      telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis;
c)      menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa;
d)     menjangkau dampak yang amat luas ;
e)      mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
f)       menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)
Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
Ilustrasi : Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.
Penyusunan agenda kebijakan sebaiknya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
2.      Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
3.      Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.
4.      Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
1.      Citra politik menurut Cangara (2007) adalah idenditas politik, yang merupakan visualisasi dari atribut yang diberikan dan dipersepsikan oleh pihak luar tentang seorang kandidat maupun partai politik. Citra politik dalam hal ini bisa berupa reputasi dan kredibilitas seorang kandidat maupun partai politik yang dipersepsikan oleh masyarakat luas. Semakin baik reputasi dan kredibilitas seorang kandidat maupun partai politik, maka akan semakin besar peluang untuk dipilih masyarakat dalam pemilihan umum.
2.      Partisipasi politik dipahami sebagai kegiatan sukarela (tanpa paksaan) warga negara dalam proses politik. Seorang tokoh partisipasi Herbet McClosky mengungkapkan pengertian Partisipasi politik, sebagai berikut : Partisipasi politik adalah kegiatan sukarela dari warga negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum (The term political participation will refer to those voluntary activities by which members of society share in the selection of rulers and, directly, in the formation of public policy).
3.      Pendapat umum ialah gabungan pendapat perseorangan mengenai suatu isu yang dapat mempengaruhi orang lain, serta memungkinkan seseorang dapat mempengaruhi pendapat-pendapat tersebut. Ini berarti pendapat umum hanya bisa terbentuk kalau menjadi pembicaraan umum, atau jika banyak orang penting (elit) mengemukakan pendapat mereka tentang suatu isu sehingga bisa menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota masyarakat.
4.      Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
5.      Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).

B.     Saran-saran
Makalah ini tentunya msih jauh dari nilai kesempurnaan, karena di buat hanya sebatas khazanah pengetahuan kami itu pun denga referensi yang masih sangat minim. Oleh karena itu kritk dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.


DAFTAR PUSTAKA
1.       a b William Dunn. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, 1998, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal: 24
2.      Kebijakan Publik: teori dan Proses. Jakarta: PT Buku Kita. Hlm 33.
3.      William N Dunn.1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press)
4.      Sumber buku Analisis Kebijakan Publik karya Liesty Referensi
5.      Arifin, Anwar, 2003. Komunikasi Politik. Jakarta: PT. Balai Pustaka
6.      Nimmo, Dan, 2001. Komunikasi PolitikKhalayak dan Efek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
7.      Rochajat Harun, Ir., MED., PhD dan Sumarno., Drs.,S.H.2006. Komunikasi Politik Sebagai Suatu Pengantar. Bandung: CV. Mandar Maju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar