BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah
Secara bahasa tasawuf diartikan sebagai Sufisme (bahasa arab: تصوف ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata “Sufi”. Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.
Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari “Ashab al-Suffa” (“Sahabat Beranda”) atau “Ahl al-Suffa” (“Orang orang beranda”), yang mana adalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa.
Menurut Amin Syukur, ada dua aliran dalam tasawuf. Pertama, aliran tasawuf sunni, yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan rohaniah) mereka pada dua sumber tersebut. Kedua, aliran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat kompromi, dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini idak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf; dan juga tidak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai filsafat.
Dalam makalah ini kami akan mencoba membahas tentang Tasawuf Ahlaqi beserta ajaran-ajaran yang ada di dalamnya, dan para tokoh ulama yang mengajarkan ajaran tasawuf ahlaqi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Tasawuf Ahlaqi?
2. Mengetahui apa saja isi dari ajaran Tasawuf Ahlaqi?
3. Mengetahui siapa saja tokoh-tokoh Tasawuf Ahlaqi?
C. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat dari penyusunan makalah ini, antara lain:
1. Diharapkan makalah ini dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut.
2. Dengan makalah ini dimaksudkan untuk dapat memberi pemahaman tentang Tasawuf Ahlaqi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Tasawuf Ahlaqi
Tasawuf Akhlaqi adalah suatu ajaran yang menerangkan sisi moral dari seorang hamba dalam rangka melakukan taqorrub kepada tuhannya, dengan cara mengadakan pembersihan diri dari moral yang tidak baik, karena tuhan tidak menerima siapapun dari hamba-Nya kecuali yang berhati salim (terselamatkan dari penyakit hati).
Definisi lain Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang inti pengajarannya mengarah pada penyucian segala sifat yang Allah tidak ridhoi, sehingga melahirkan komunitas manusia mulia di hadapan Allah dan makhluk-Nya.
B. Isi Ajaran Tasawuf Ahlaqi
1. Takhalli
Takhalli atau penarikan diri berati menarik diri dari perbuatan-perbuatan dosa yang merusak hati. Definisi lain mengatakan bahwa, Takhalli adalah membersihkan diri sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran atau penyakit hati yang merusak. Takhalli juga berarti mengosongkan diri sikap ketergantungan terhadap kelezatan duniawi.
Dari definisi takhali di atas, dapat dinyatakan bahwa takhalli ini dapat dicapai dengan menjauhkan diri dari kemaksiatan, kelezatan atau kemewahan dunia, serta melepaskan diri dari hawa nafsu yang jahat, yang kesemuanya itu adalah penyakit hati yang dapat merusak. Menurut kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua, yakni maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir adalah segala bentuk maksiat yang dilakukan atau dikerjakan oleh anggota badan yang bersifat lahir. Sedangkan maksiat batin adalah berbagai bentuk dan macam maksiat yang dilakukan oleh hati, yang merupakan organ batin manusia.
Pada hakekatnya, maksiat batin ini lebih berbahaya dari pada maksiat lahir. Jenis maksiat ini cenderung tidak tersadari oleh manusia karena jenis maksiat ini adalah jenis maksiat yang tidak terlihat, tidak seperti maksiat lahir yang cenderung sering tersadari dan terlihat. Bahkan maksiat batin dapat menjadi motor bagi seorang manusia untuk melakukan maksiat lahir. Sehingga bila maksiat batin ini belum dibersihkan atau belum dihilangkan, maka maksiat lahir juga tidak dapat dihilangkan.
Kelompok sufi beranggapan bahwa penyakit-penyakti dan kotoran hati yang sangat berbahaya tersebut dapa menjadi hijab untuk dapat dekat dengan Tuhan. Sehingga agar mudah menerima pancaran Nur Illahi dan dapat mendekatkan diri dengan Tuhan maka hijab tersebut haruslah dihapuskan dan dihilangkan. Yakni, dengan berusaha membersihkan hati dari penyakit-penyakit hati dan kotoran hati yang dapat merusak. Upaya pembersihan hati ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
ü Menghayati segala bentuk ibadah, agar dapat memahaminya secara hakiki
ü Berjuang dan berlatih membebaskan diri dari kekangan hawa nafsu yang jahat dan menggantinya dengan sifat-sifat yang positif.
ü Menangkal kebiasaan yang buruk dan mengubahnya dengan kebiasaan yang baik.
ü Muhasabah, yakni koreksi terhadap diri sendiri tentang keburukan-keburukan apa saja yang telah dilakukan dan menggantinya dengan kebaikan-kebaikan.
2. Tahalli
Secara etimologi kata Tahalli berarti berhias. Sehingga Tahalli adalah menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji serta mengisi diri dengan perilaku atau perbuatan yang sejalan dengan ketentuan agama baik yang bersifat lahir maupun batin. Definisi lain menerangkan bahwa Tahalli berarti mengisi diri dengan perilaku yang baik dengan taat lahir dan taat batin, setelah dikosongkan dari perilaku maksiat dan tercela. Diterangkan pula bahwa Tahalli adalah menghias diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik.
Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap Takhalli. Dengan kata lain, Tahalli adalah tahap yang harus dilakukan setelah tahap pembersihan diri dari sifat-sifat, sikap dan perbuatan yang buruk ataupun tidak terpuji, yakni dengan mengisi hati dan diri yang telah dikosongkan aatu dibersihkan tersebut dengan sifat-sifat, sikap, atau tindakan yang baik dan terpuji. Dalam hal yang harus dibawahi adalah pengisian jiwa dengan hal-hal yang baik setalah jiwa dibersihkan dan dikosongkan dari hal-hal yang buruk bukan berarti hati harus dibersihkan dari hal-hal yang buruk terlebih dahulu, namun ketika jiwa dan hati dibersihkan dari hal-hal yang bersifat kotor, merusak, dan buruk harus lah diiringi dengan membiasakan diri melakukan hal-hal yang bersifat baik dan terpuji. Karena hal-hal yang buruk akan terhapuskan oleh kebaikan.
Pada dasarnya, jiwa manusia dapatlah dilatih, diubah, dikuasai, dan dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Dengan kata lain sikap, atau tindakan yang dicerminkan dalam bentuk perbuatan baik yang bersifat lahir ataupun dapat dilatih, dirubah menjadi sebuah kebiasaan dan dibentuk menjadi sebuah kepribadian. Sehingga, pengisian jiwa dengan hal-hal yang baik itu diawali dengan melatih diri dengan melakukan hal-hal yang baik, sehingga lama kelamaan hal-hal yang baik tersebut akan berubah menjadi kebiasaan, dan apabila secara berkelanjutan dilakukan hal-hal yang baik tersebut akan terbentuk menjadi suatu kebiasaan.
Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat Allah. Yaitu menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Apa bila jiwa dapat diisi dan dihiasi dengan sifat-sifat yang terpuji, hati tersebut akan menjadi terang dan tenang, sehingga jiwa akan menjadi mudah menerima nur Illahi karena tidak terhijab atau terhalang oleh sifat-sifat yang tercela dan hal-hal yang buruk Hal-hal yang harus dimasukkan, yang meliputi sikap mental dan perbuatan luhur itu adalah seperti taubat, sabar, kefakiran, zuhud ,tawakal, cinta, dan ma’rifah.
3. Tajalli
Tajalli adalah tahap yang dapat ditempuh oleh seorang hamba ketika ia sudah mampu melalui tahap Takhalli dah Tahalli. Tajalli adalah lenyapnya atau hilangnnya hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya nur yang selama itu tersembunyi atau fana segala sesuatu selain Allah, ketika nampak wajah Allah.
Tahap Tajalli di gapai oleh seorang hamba ketika mereka telah mampu melewati tahap Takhalli dan Tahalli. Hal ini berarti untuk menempuh tahap Tajalli seorang hamba harus melakukan suatu usaha serta latihan-latihan kejiwaan atau kerohanian, yakni dengan membersihkan dirinya dari penyakit-penyakit jiwa seperti berbagai bentuk perbuatan maksiat dan tercela, kemegahan dan kenikmatan dunia lalu mengisinya dengan perbuatan-perbuatan, sikap, dan sifat-sifat yang terpuji, memperbanyak dzikir, ingat kepada Allah, memperbanyak ibadah dan menghiasi diri dengan amalan-amalan mahmudah yang dapat menghilangkan penyakit jiwa dalam hati atau dir seorang hamba.
Tahap Tajalli tentu saja tidak hanya dapat ditempuh dengan melakukan latihan-latihan kejiwaan yang tersebut di atas, namun latihan-latihan tersebut harus lah dapat ia rubah menjadi sebuah kebiasaan dan membentuknya menjadi sebuah kepribadian. Hal ini berarti, untuk menempuh jalan kepada Allah dan membuka tabir yang menghijab manusia dengan Allah, seseorang harus terus melakukan hal-hal yang dapat terus mengingatkannya kepada Allah, seperti banyak berdzikir dan semacamnya juga harus mampu menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat membuatnya lupa dengan Allah seperti halnya maksiat dan semacamnya.
Dapat pula diumpamakan pula bahwa, seorang yang mencari tuhan adalah seperti orang yang bercermin di depan sebuah kaca besar yang kotor. Kotoran dalam cermin itu diibaratkan sebahai sebuah hijab yang menghalanginya untuk melihat bayangannya dengan jelas, dan bayangan itu diibaratkan sebagai tuhan. Untuk dapat melihat bayangannya dengan jelas seseorang tidak perlu memindahkan cerminnya kekanan atau kekiri atau membeli cermin yang baru. Melainkan, seseorang tersebut hanya harus membersihkan kotoran tersebut untuk dapat melihat bayangannya dengan jelas. Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk dapat membuka hijab antara manusia dengan Allah seseorang harus mampu membersihkan kotoran-kotaran yang terdapat dalam jiwanya dan menggantinya dengan perbuatan, sifat dan sikap yang terpuji dan baik agar hatinya tidak lagi tercemari dan terkotori oleh penyakit-penyakit jiwa yang dapat menjadi hijab antara seorang hamba dengan Allah.
4. Munajat
Munajat berarti melaporkan segala aktivitas yang dilakukan kehadirat Allah SWT. Maksudnya adalah dalam munajat seseorang mengeluh dan mengadu kepada Allah tentang kehidupan yang seorang hamba alami dengan untaian-untaian kalimat yang indah diiringi dengan pujian-pujian kebesaran nama Allah.
Munajat biasanya dilakukan dalam suasanya yang hening teriring dengan deraian air mata dan ungkapan hati yang begitu dalam. Hal ini adalah bentuk dari sebuah do’a yang diungkapkan dengan rasa penuh keridhoan untuk bertemu dengan Allah SWT.
Menurut kaum sufi, tangis air mata itu menjadi salah satu amal adabiyah atau , suatu riyadhah bagi orang sufi ketika bermunajat kepada Allah. Para kaum sufi pun berpandangan bahwa tetesan-tetesan air mata tersebut merupakan suatu tanda penyeselan diri atas kesalahan-kesalahan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Sehingga, bermunajat dengan do’a dan penyesalan yang begitu mendalam atas semua kesalahan yang diiringi dengan tetesan-tetesan air mata merupakan salah satu cara untuk memperdalam rasa ketuhanan dan mendekatkan diri kepada Allah.
5. Muraqabah
Muraqabah menurut arti bahasa berasal dari kata raqib yang berarti penjaga atau pengawal. Muraqabah menurut kalangan sufi mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan diawasi-Nya. Muroqobah juga dapat diartikan merasakan kesertaan Allah, merasakan keagungan Allah Azza wa Jalla di setiap waktu dan keadaan serta merasakan kebersamaan-Nya di kala sepi atau pun ramai.
Sikap muroqobah ini akan menghadirkan kesadaran pada diri dan jiwa seseorang bahwa ia selalu diawasi dan dilihat oleh Allah setiap waktu dan dalam setiap kondisi apapun. Sehingga dengan adanya kesadaran ini seseorang akan meneliti apa-apa yang mereka telah lakukan dalam kehidupan sehari-hari, apakah ini sudah sesuai dengan kehendak Allah ataukan malah menyimpang dari apa yang di tentukan-Nya.
Disamping itu ada satu istilah yang disebut dengan sikap mental muqorobah, yakni sikap selalu memandang Allah dengan mata hati (Vision of Heart). Sebaliknya, ia pun juga menyadari bahwa Allah juga melihatnya, mengawasinya, dan memandangnya dengan sangat penuh perhatian.
Ketika muroqobah dilakukan untuk menghadirkan kemantapan hati dan ketenangan batin seseorang dalam praktik mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini dikarenakan, bila sudah tertanam kesadaran bahwa seseorang selalu melihat Allah dengan hatinya dan ia sadar bahwa Allah selalu memandangnya dengan penuh perhatian maka seseorang tersebut akan semakin mantab untuk mengamalkan dan melakukan apa-apa yang diridloi oleh Allah sehingga batin nya akan semakin terbuka untuk dapat mendekatkan dirinya pada Allah.
Sikap mental muroqobah ini dapat digambarkan dalam sebuah cerita sufi, yakni ketika seorang muslim yang berjualan baju keliling diajak bersetubuh oleh seorang wanita biarawati nasrani. Ketika itu laki-laki muslim itu tengah menjajakan barang dagangannya kerumah biarawati tersebut. Kebetulan saat itu hanya ada mereka berdua, dan tak ada orang lain disana. Ketika itu pula seorang biarawati itu mengajak laki-laki muslim itu untuk bersetubuh. Dan laki-laki itupun terpengaruh oleh godaan setan, dia berkata “ia saya mau”. Namun ketika laki-laki muslim itu dan biarawati itu hampir melakukan persetubuhan, tiba-tiba tersadarlah dalam hati laki-laki tersebut, jika Allah tak pernah tidur dan selalu mengawasinya dengan penuh perhatian. Sat itu pula laki-laki muslim itu berkata “saya tak bisa melakukannya, saya takut dengan Allah karna dia selalu mengawasi saya”. Hingga akhirnya mereka tidak jadi bersetubuh dan laki-laki muslim itu meninggalkan rumah itu.
6. Muhasabah
Muhasabah seringkali diartikan dengan memikirkan, memperhatikan, dan memperhitungkan amal dari apa-apa yang ia sudah lakukan dan apa-apa yang ia akan lakukan. Muhasabah juga didefinisikan dengan meyakini bahwa Allah mengetahui segala fikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati yang membuat seseotang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah.
Di dalam muhasabah, seseorang terus-menerus melakukan analisis terhadap diri dan jiwa beserta sikap dan keadaannya yang selalau berubah-ubah. Orang tersebut menghisab dirinya sendiri tanpa menunggu hingga hari hari kebangkitan. Dalam muhasabah hal-hal yang perlu dipaerhatikan adalah menghisab tentang kebajikan dan kewajiban yang sudah dilaksanakan dan seberapa banyak maksiat yang sudah dilaksanakan. Apabila kemaksiatan lebih banyak dilakukan, maka orang tersebut harus menutupnya dengan kebaikan-kebaikan diringi dengan taubatan nasuha.
Dengan demikian sikap mental muhasabah dalah salah satu sikap mental yang harus ditanamkan dalam diri dan jiwa agar dapat meningkatkan kualitas keimanan kita terhadap Allah SWT. Sehingga sikap mental ini akan dapat meningkatkan kualitas ibadah kita kepada Allah SWT, dan membukakan jalan untuk menuju kepada Allah SWT.
C. Tokoh-Tokoh Ajaran tasawuf Ahlaqi
1. Hasan Al- Bashri
Hasan Al-Bashri, nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang sangat masyhur di kalangan tabi’in. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21H. (632M). dan wafat pada hari kamis bulan Rajab tanggal 10, tahun 110H (728M). Ia dilahirkan dua malam sebelum khalifah Umar bin Khattab wafat. Ia pun dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan badar dan 300 sahabat lainnya.
Dialah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, usaha menyucikan jiwa Masjid Basrah. Ajaran-ajarannya tentang kerohanian senantiasa didasarkan pada Sunah Nabi.
Karir pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepada seluruh ulama disana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri dan puncak keilmuannya pun ia peroleh disana.
Ajaran-ajaran Tasawuf Hasan Al-Bashri, yaitu:
a) Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik daripada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut.
b) Dunia adalah negeri tempat beramal. Barangsiapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barangsiapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
c) Tafakur membawa kita kepada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya.
d) Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati oleh suaminya.
e) Oarng yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada di dua perasaan takut, yaitu; takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
f) Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal soleh.
2. Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazla, suatu kota di khurasan, Iran, pada tahun 450H/1058M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Ajaran tasauf Al-Ghazali
Didalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Sunnah wa Al-Jamaah. Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membesihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Ia berpendapat bahwa sosok sufi menempuh jalan kepada Allah, perjalan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab gerak, dan diam mereka, baik lahir maupun batin, diambil dri cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian di dunia ini tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.
Al-Ghazali memberikan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqorrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju Ma’rifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sedangkan buahnya adalah moralitas. Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah Swt. Ma’rifat versi Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan mnempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal).
Oleh karena itu, Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah yang mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yakni tasawuf, fiqih, dan ilmu kalam. Yang sebelumnya banyak menimbulkan terjadinya ketegangan.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Isi dari ajaran Tasawuf Akhlaqi adalah, Takhalli, Tahalli, Tajalli, Munajat, Murroqobah, memperbanyak dzikir dan wirid, mengingat mati, dan tafakkur.
Tokoh –tokoh dalam ajaran Tasawuf yang paling terkenal pada masanya yaiti Hasan Al-Bashri dan Al-Ghazali, mereka dianggap berhasil dalam menyebarkan ajaran taswufnya masing-masing, akan tetapi tetap memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah.
B. Saran-saran
Makalah ini tentunya msih jauh dari nilai kesempurnaan, karena di buat hanya sebatas khazanah pengetahuan kami itu pun denga referensi yang masih sangat minim. Oleh karena itu kritk dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. 2006. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2. Mukhtar Hadi, M.Si. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf. Yogyakarta: Aura Media.
3. Simuh. 1997. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
4. Dr. M. Abdullah Dirroz dan Drs. H. A. Mustofa. 2008. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia.
5. Drs. Rosihon Anwar, M. Ag, dan Drs. Mukhtar Solihin, M. Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar